Pada era digitalisasi sekarang ini, kemajuan teknologi dan arus informasi demikian deras menghampiri kita. Dampaknya menjalar pada semua aspek kehidupan. Salah satunya pada sektor pendidikan, khususnya peran pendidiknya. Peran pendidik yang notabene dijadikan sebagai sumber informasi baik didalam maupun diluar kelas baik terutama bagi peserta didik maupun masyarakat pada umumnya, tidak boleh “cuek bebek” dan enggan beradaptasi, karena jika demikian tentunya akan jauh ketinggalan.Pendidikan sejatinya merupakan gerbang yang dapat mengantarkan umat manusia menuju peradaban yang lebih tinggi dan humanis dengan berlandaskan pada keselarasan hubungan antar manusia, lingkungan dan sang penciptanya. Namun dalam konteks kekinian, ada indikasi yang menunjukkan bahwa pendidikan secara substansial kehilangan ruhnya.
Ketidakseimbangan dalam proporsi pengajaran yang cenderung menekankan aspek kognitif dan mengabaikan aspek spiritualitas dan emosional peserta didik menjadi salah satu penyebab hilangnya ruh ini. Hal seperti ini menjadi sesuatu yang sangat riskan jika terus dibiarkan, mengingat tidak sedikit bukti yang menunjukkan kepada kita bahwa dominasi kognitif dalam perolehan pendidikan membuat seseorang buta hati maupun buta sosial. Disinilah peran sosok pendidik terutama Pendidik Agama Islam untuk menjadi pelopor dalam mengantisipasi tendensi kausal tersebut.
Guru Pendidikan Agama Islam perlu merenung kembali konsep dari pendidikan islam itu sendiri, meminjam pemikiran al-Ghazali tentang konsep pendidikan Islam bahwa tujuan utama menuntut ilmu adalah untuk meraih kebahagiaan hidup dunia akhirat, maka yang dijadikan landasan utama ialah Alquran dan Hadits. Oleh karena itu, dalam hal ini guru pendidikan agama Islam seharusnya meluruskan niat bahwa mendidik untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt., menjadi pribadi yang dapat diambil suri teladannya, memiliki kompetensi mengajar serta memberikan perhatian kepada peserta didik seperti anaknya sendiri. Begitu pula, peserta didik yang diharuskan mempunyai niat dalam mendekatkan diri kepada Allah Swt., menjauhi maksiat, menghormati guru dan rajin belajar. Kemudian, adanya kurikulum pendidikan yang disesuaikan dengan tumbuh kembang peserta didik serta mengikuti perkembangan zaman.
Berikutnya adalah faktor lingkungan, peserta didik haruslah dijauhkan dari pergaulan yang tidak baik, karena lingkungan jelek akan mempengaruhi perkembangannya, terutama di lingkungan keluarga, sekolah atau masyarakat. Berangkat dari semua hal diatas perlu diciptakan suatu kondisi lingkungan yang terbaik yang dihasilkan atas kerjasama antara semua pihak. Karena pendidikan agama Islam secara esensial dapat dicermati
melalui pergaulan yang mengandung unsur rasa kemanusiaan terhadap seorang individu dan mengarahkan kepada kebaikan disertai dengan perasaan cinta kasih dengan menyediakan suasana yang baik dimana ada tempat bagi bakat dan kemampuan individu tersebut agar dapat bertumbuh secara lurus. Jadi, pendidikan dalam pandangan Islam dapat dimaknai sebagai pendidikan manusia seutuhnya, termasuk akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, serta akhlak dan keterampilannya. Menjadi guru pendidikan agama Islam yang inspiratif dan adaptif berarti mampu mengembangkan kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama Islam yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Oleh karena itu sebagai guru pendidikan agama Islam tentunya kita harus selalu up to date, mengasah dan meningkatkan kapasitas dan kompetensi kita sebagai pendidik. Karena jika tidak demikian, fungsi kita sebagai pendidik dimasa yang akan datang, tentunya akan semakin terpojokkan. Mau tidak mau, suka ataupun tidak suka, sudah seharusnya diera digitalisasi ini setiap pendidik bisa merubah mindset-nya beradaptasi dengan perubahan, sebelum perubahan itu mengunci dirinya diketerasingan.Seperti halnya dalam proses pembelajaran, diera digitalisasi ini pendidik agama Islam seharusnya mampu menggunakan berbagai strategi, pendekatan, metode, alat, teknik, media dan gaya yang kreatif dalam mengajar. Karena kehadiran era digitalisasi ini tidak dapat lepas dari beberapa aspek pendidikan Islam, satu diantaranya seperti penggunaan konsep pendidikan jarak jauh (tele-education) yang berbasis pada penggunaan teknologi informasi (Information Technology). Pendidik dituntut untuk menguasai penggunaan IT, agar pembelajaran tidak tertinggal jauh dari perkembangan ilmu pengetahuan.
Selain itu juga, alat dan media belajar yang semula bersifat konvensional berganti dengan yang bersifat teknologi. Pembelajaran bukan hanya sekedar berpusat di kelas namun dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja, menggunakan lingkungan yang lebih luas, serta tidak terikat oleh waktu. Karena pada dasarnya pendidikan adalah seluruh proses hidup dan segenap bentuk interaksi individu dengan lingkungannya, baik secara formal, nonformal maupun informal.Guru pendidikan agama islam perlu menganalisis dan mengkaji kembali perjalanan sejarah dimasa kejayaan islam, begitu menjamurnya para cendekiawan muslim yang menjadi rujukan serta inspirator keilmuan sampai saat ini. Mereka ahli dalam hal agama sekaligus mumpuni dalam berbagai bidang keilmuan, baik dibidang kedokteran, matematika, fisika, biologi, astronomi dan lain sebagainya.Guru pendidikan agama Islam diharapkan mampu membentuk peserta didik agar siap menghadapi zamannya. Adapun persiapan tersebut paling tidak ada empat hal: a) menyiapkan peserta didik yang memiliki fondasi iman, ilmu dan akhlak yang kuat; b) menyiapkan keterampilan peserta didik untuk bisa bekerja dan kreatif dimasa yang akan datang; c) menyiapkan peserta didik untuk bisa menyelesaikan masalah dengan baik, dan d) menyiapkan peserta didik untuk bisa menggunakan teknologi dengan bijak dan mumpuni.
Kemauan, optimis dan ketekunan adalah kekuatan yang harus dimiliki oleh seorang Guru Pendidikan Agama Islam. Sosok ini perlu terus secara intens menekankan kepada dirinya sendiri maupun kepada peserta didiknya untuk adaftif, membaca, menelaah, meneliti segala sesuatu yang terjadi di alam raya ini. Karena sejatinya membaca, menelaah, meneliti hanya bisa dilakukan oleh manusia, karena hanya manusia makhluk yang memiliki akal dan hati. Melalui kelebihan akal dan hati, tentunya manusia akan mampu memahami pengetahuan serta fenomena-fenomena yang ada di sekitarnya.
Sejatinya Pendidikan Agama Islam bukanlah sekedar proses penamaan nilai-nilai moral untuk membentengi diri dari akses negatif globalisasi ataupun modernisasi. Namun hal yang paling utama adalah bagaimana afektifitas atau nilai- nilai moral yang telah ditanamkan pendidikan Islam tersebut mampu berperan sebagai kekuatan pembebas (liberating force) dari himpitan kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan sosial budaya dan ekonomi. Diera digitalisasi ini, menjadi guru pendidikan agama Islam yang adaptif dalam setiap perubahan dan inspiratif untuk menguasai perubahan tersebut serta mampu menginspirasi orang lain adalah kunci awal dari puncak keberhasilan baik untuk pribadi, masyarakat, bangsa bahkan dunia.
Sumber Referensi
Fauzi, Imron. (2019). Manajemen Pendidikan ala Rasulullah. Jogjakarta: Ar Ruzz Media.
Makmun, AS. (2015). Psikologi Kependidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Bandung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H