Lihat ke Halaman Asli

MEA Berjalan, Apa Kabar SDM Kesehatan Indonesia?

Diperbarui: 24 Desember 2015   09:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Tahun 2015 sudah di penghujung. Sepanjang 2015 ini santer terdengar sebuah istilah MEA. Istilah MEA merupakan kependekan dari Masyarakat Ekonomi ASEAN yang memiliki pola mengintegrasikan ekonomi ASEAN dengan cara membentuk sistem perdagangan bebas antara negara-negara anggota ASEAN yang membuat kawasan ASEAN lebih dinamis dan kompetitif. Komitmen ini telah disepakati bersama oleh sepuluh negara ASEAN, negara Indonesia salah satunya. Era MEA akan membuka pintu perdagangan barang, jasa, modal dan investasi yang akan bergerak bebas di ASEAN.

Indonesia mau tidak mau harus siap menghadapi MEA, bersaing dengan negara-negara ASEAN. Pemerintah Indonesia sudah dihadapkan dengan tantangan global di tingkat ASEAN ini. Pada era MEA ini tidak hanya membuka arus perdagangan barang atau jasa, tetapi juga pasar tenaga kerja profesional. Terdapat liberalisasi tenaga kerja profesional di 12 (dua belas) sektor termasuk industri jasa kesehatan. Profesi sumber daya manusia (SDM) kesehatan seperti dokter, dokter gigi, perawat, bidan, farmasi, kesehatan masyarakat, kesehatan lingkungan, gizi, terapi fisik, dan SDM kesehatan lainnya harus terus bergerak untuk dapat bertahan dalam gelombang liberalisasi ASEAN di bidang kesehatan.

Menurut data dari Badan Pengembangan dan Pemberdayaan SDM Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, jumlah SDM kesehatan yang terdata sampai tahun 2014 sebanyak 891.897 orang. Jika dibandingkan dengan total jumlah penduduk Indonesia, jumlah tersebut masih jauh dari kata cukup. Selain jumlahnya yang kurang, persebaran SDM kesehatan juga masih belum merata, sebanyak 48.87% (435.877) SDM kesehatan masih terpusat di pulau Jawa dan Bali. Sedangkan di wilayah timur Indonesia, seperti Papua hanya menerima 2.06% dari total SDM kesehatan seluruhnya. Dengan kondisi produksi SDM kesehatan masih kurang namun kebutuhan pelayanan tinggi, distribusi SDM kesehatan yang buruk dan adanya keterbatasan gerak SDM kesehatan di Indonesia maka keikutsertaan Indonesia dalam MEA bagaikan dua mata pisau. Satu mata hal ini diharapkan dapat membantu kekurangan SDM kesehatan di Indonesia, namun di mata lain hal ini dapat menjadi ancaman bagi SDM kesehatan kita. Tenaga kerja asing di bidang kesehatan berpeluang untuk bebas bekerja di pasar medis Indonesia dan menjadi ancaman persaingan. Jika kita tidak kuat menghadapi ancaman tersebut bukan tidak mungkin Indonesia hanya akan menjadi obyek di negara sendiri.

Untuk mencegah terancamnya pasar medis Indonesia oleh tenaga asing, diperlukan peran pemerintah untuk dapat melakukan upaya proteksi terhadap SDM kesehatan Indonesia untuk menghadapi ancaman tersebut. Beberapa upaya telah dilakukan oleh pemerintah seperti mengatur status keberadaan tenaga kesehatan asing dan SDM kesehatan Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan serta salah satu turunannya yaitu Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 67 Tahun 2013 mengenai Pendayagunaan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing (TK-WNA). Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 diatur bahwa pemerintah melakukan pembentukan konsil tenaga kesehatan dimana Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia mempunyai fungsi sebagai koordinator konsil masing-masing SDM kesehatan dalam mengevaluasi dan mengawasi SDM kesehatan. Di dalam Undang-Undang tersebut juga mengatur bahwa pendayagunaan tenaga kesehatan asing dilakukan dengan mempertimbangkan alih teknologi dan ilmu pengetahuan serta ketersediaan SDM kesehatan setempat.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 67 Tahun 2013 juga memperlihatkan bentuk proteksi pemerintah terhadap SDM kesehatan Indonesia yang diharapkan dapat membatasi gerak dan kewenangan TK-WNA dalam bekerja di Indonesia. Adapun proteksi tersebut diwujudkan dalam bentuk pendayagunaan TK-WNA dalam kegiatan pelayanan kesehatan yang harus didampingi oleh SDM kesehatan Indonesia. Hal ini bertujuan untuk berbagi pengetahuan, supaya SDM kesehatan Indonesia mampu menyerap dan memanfaatkan ilmu pengetahuan serta teknologi yang dikuasai oleh TK-WNA tersebut. Dan TK-WNA hanya diperbolehkan bekerja sementara dan hanya dilakukan apabila SDM kesehatan Indonesia belum memiliki kompetensi yang sama seperti TK-WNA. Proteksi lain disebutkan bahwa TK-WNA hanya diperbolehkan menetap (ijin tinggal) sementara dan harus mengikuti Sistem Jaminan Sosial Nasional. TK-WNA dilarang untuk mendirikan praktik mandiri dan dilarang untuk menduduki jabatan personalia atau jabatan tertentu dalam institusi. Sebagai pemberi pelayanan kesehatan TK-WNA harus memiliki sertifikat kompetensi dan memiliki Surat Izin Praktik (SIP). Proteksi diatas dilakukan untuk melindungi hak SDM kesehatan Indonesia supaya tidak merasa didiskriminasi oleh negaranya sendiri. Karena prinsipnya pendayagunaan TK-WNA di Indonesia yaitu hanya untuk mengisi kekurangan SDM kesehatan dan saling berbagi pengetahuan untuk meningkatkan kompetensi SDM kesehatan Indonesia.

Selain upaya proteksi yang telah dilakukan pemerintah, diperlukan juga upaya yang dilakukan oleh segenap masyarakat ataupun SDM kesehatan Indonesia sendiri untuk dapat mendominasi dan bersaing mengibarkan sayap MEA. Pada prinsipnya kesehatan harus dijaga negara tidak boleh dikendalikan asing, Untuk itu diperlukan peningkatan kualitas dan kuantitas SDM kesehatan agar memiliki kompetensi untuk bersaing secara global. Era MEA mengharuskan SDM kesehatan terus berbenah diri. Peluang dan tantangan yang menghadang harus diterobos dengan peningkatan mutu dan profesionalisme SDM kesehatan Indonesia yang hanya dapat dicapai bila SDM kesehatan Indonesia dalam melakukan pelayanannya sesuai dengan standar profesinya. Standar Profesi sebagai acuan SDM kesehatan merupakan persyaratan yang mutlak harus dimiliki.

Memaksimalkan peran gate keeper pada pelayanan tingkat pertama oleh SDM kesehatan juga harus dilakukan. Fokus pada pelayanan kesehatan kecil dan menengah. Menjalin komunikasi yang efektif dengan masyarakat Indonesia dengan berbagai kearifan local yang dipunya.Sesungguhnya SDM kesehatan Indonesia-lah yang lebih mengerti kondisi masyarakat Indonesia. Banyak TK-WNA yang mempersiapkan diri dengan kemampuan Bahasa Indonesia untuk dapat berkomunikasi dengan masyarakat Indonesia. Dan bukan tidak mungkin para TK-WNA juga siap untuk bekerja di seluruh pelosok Indonesia. Hal ini yang perlu perhatian dan kewaspadaan lebih jangan sampai pangsa pasar pelayanan kesehatan tingkat pertama dikuasai oleh TK-WNA.
Hal lainnya adalah kesejawatan SDM kesehatan. Kesejawatan merupakan hubungan yang sangat esensi. Kolektisifitas kesejawatan antara Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI) dan organisasi profesi kesehatan lainnya harus terus terjalin demi pelayanan kesehatan yang komprehensif. Masing-masing organisasi profesi kesehatan meningkatkan peran professional masing-masing anggotanya sehingga bisa menjadi pelaku pembangunan kesehatan.

Dengan berbagai potensi dan proteksi yang ada, MEA merupakan peluang yang tidak perlu ditakuti namun perlu terus dipersiapkan demi memperoleh manfaat dengan diberlakukannya MEA. Para SDM kesehatan Indonesia harus terus beraktualisasi dan berkomitmen secara komprehensif sehingga SDM kesehatan dapat menjadi pelaku liberalisasi kesehatan. Kitalah yang menjadi subyek dan tuan rumah pelaku pembangunan kesehatan Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline