Kebanyakan dari kita, terutama bagi orang jawa tentu pernah mendengar sebuah syair yang cukup popular di telinga, yaitu Jaman Edan. Orang jawa saat sekarang mengenal syair jaman edan itu secara singkat dan sederhana:
- Zaman edan (Jaman gila)
- Melu edan ora tahan (Mau ikut gila tak sampai hati)
- Ora melu edan ora keduman (Tak ikut gila tak bakalankebagian)
- Sak beja bejane wong edan (Seberuntungnya orang yang gila)
- Luwih beja wong sing eling lan waspodo. (Lebih beruntung orang yang selalu ingat dan waspada).
Karya Rangga Warsita
Syair jaman edan merupakan karya sastra jawa yang ditulis oleh seorang pujangga Kasunanan Surakarta bernama Raden Ngabehi Rangga Warsita. Syair itu ditulis oleh Rangga Warsita pada sekitar tahun 1860 Masehi, yang saat itu dikenal dengan nama Serat Kalatidha, yang artinya Jaman Ketidak pastian.
Dalam bahasa aselinya, bunyi Serat Kalatidha sebagai berikut:
- Amenangi zaman edan (berada pada zaman edan) ;
- Ewuhaya ing pambudi (serba susah dalam bertindak);
- Melu ngedan nora tahan (mau ikut edan tidaklah sampai hati);
- Yen tan melu anglakoni boya keduman melik (tetapi kalau tidak ikut edan tidak bakal kebagian);
- Begja-begjaning edan (namun seberuntungnya orang yang edan);
- Luwih begja kang ling klawan waspada (akan lebih beruntung/bahagia orang yang tetap ingat dan waspada).
Kalatidha merupakan sebuah syair yang sangat termashur. Ketenaran Serat Kalatidha telah mencapai negeri Belanda. Di sana petikan dari Serat Kalatidha dilukis pada tembok di sebuah museum, di kota Leiden Belanda.
Situasi penuh kecemasan dan kebimbangan
Konon Rangga Warsita menulis serat ini karena adanya satu kegalauan terhadap situasi sosial masyarakat saat itu. Situasinya saat itu penuh ketidak adilan dan penuh ketidak pastian, sehingga masyarakat diliputi kecemasan dan kebimbangan.
Dalam pandangan Rangga Warsita, situasi seperti itu membuat masyarakat serba susah dalam bertindak (ewuhaya ing pambudi). Mau mengikuti arus kegilaan hatinya tidak tega (melu ngedan nora tahan), Namun kalau tidak ikut-ikutan edan maka tak bakal kebagian rejeki (boya keduman mlik).
Di jaman itu orang pandai (berilmu) belum tentu hidup nyaman, dan orang bodoh belum tentu juga sengsara. Yang sukses adalah orang yang cerdik dan licik, yang bisa mengambil hati penguasa. Sedangkan orang jujur, meski pekerja keras hidupnya tetap sengsara.
Situasi seperti itu, kemudian dalam beberapa pepatah jawa disebutkan antara lain:
> Jujur ajur - ala mulya, yang maknanya adalah orang jujur bisa bernasib sial (ajur), karena bakal ditinggalkan orang-orang sekitar yang rusak moralnya, lantaran dianggap tidak bisa diajak kerjasama. Sedangkan orang "ala" yaitu orang yang rendah moralnya justru kehidupannya bisa jadi baik (mulya), karena berani menghalalkan segala cara.