“Sometimes the wrong choice bring us to the right places.”-Unknown
Entah siapa yang mengatakan itu pertama kali, tapi saya pikir pernyataan itu tepat sekali. Setidaknya bagi saya. Dimulai dari kesalahan saya memilih jurusan ketika tes masuk kuliah – lebih tepatnya cari pelarian- hidup saya seperti hilang arah. Indeks Prestasi (IP) tertinggal jauh dari harapan sementara transkrip ibarat deretan rantai karbon. Penuh dengan nilai C. sejak saat itu beasiswa yang baru saja saya dapat selama satu semester berbekal nilai rapor SMA harus diputus. Dengan IP hanya 2,5 siapa yang bisa berbangga?
Tak disangka kemarahan saya kepada dunia justru membuahkan bahagia pada akhirnya. Saya yang merasa ogah-ogahan masuk kuliah, tertinggal pelajaran harus banting stir dan mencari alternatif tempat lain untuk menorehkan prestasi. Saya yang awalnya sudah pasti bahwa tahun berikutnya saya harus ikut SPMB lagi ternyata justru merasa yakin dengan pilihan yang dulu saya anggap salah. Saya dulu menganggap itu sebuah kecelakaan fatal dan bakal mengandaskan mimpi-mimpi saya. Pada akhirnya saya bisa menorehkan prestasi di dunia eksternal akademik kampus. Hingga saya mendapat pengakuan dan pada akhirnya menjadi wakil kampus untuk berkompetisi di tingkat nasional. Hingga IPK saya terus meningkat dan pada akhirnya saya bisa mendapatkan beasiswa hingga S2. Apa jadinya saya jika dulu terus merana?
Sejak saat itu saya yakin bahwa untuk bisa memotivasi orang lain, tak perlu menunggu kita untuk bisa menjadi sesuatu. Mau sampai kapan menunggu kaya dan punya deposito milyaran dolar, bukan rupiah lagi untuk bisa sedekah? Menunggu menang ini-itu untuk sekedar membuat orang lain semangat dalam berkompetisi. Sementara orang di sekitar kita tidak bisa menunggu. Kondisi kita bahkan darurat motivasi. Pun kita (saya) sendiri terkadang harus berkali-kali di recharge supaya bisa bangkit lagi.
Teori bahwa berbagi tak pernah rugi pertama kali saya amini ketika saya menjadi relawan penanganan pasca gempa Sumatera Barat bertahun silam. Saya yang masih berstatus mahasiswa ‘terpaksa’ kabur ke sana meski tidak yakin apakah benar daerah benar-benar mengutus saya. Saya bisa apa kok sampai diberi kepercayaan luar biasa? Pada akhirnya saya sadar, selalu ada yang bisa saya perbuat untuk orang lain meski saya bukan tim rescue.Saya juga relawan ala kadarnya yang berangkat dari status Palang Merah Remaja di masa SMA. Tapi di sana saya justru mendapatkan banyak sekali pelajaran yang tak dapat saya beberkan satu demi satu.
Tuhan menuntun saya untuk pergi ke sana diiringi doa keluarga. Saya dan rekan-rekan satu tim lainnya bahu membahu melakukan apapun yang kami bisa. Mulai dari menjaga anak-anak agar lepas dari trauma, menyiapkan makanan di dapur sampai menjadi penerjemah. Melihat anak-anak tertawa meski rumahnya rata dengan tanah. Bertemu dengan penduduk yang bahu membahu membangun tenda darurat meski masih dalam duka mengiring anggota keluarganya yang berkalang tanah. Setiap bertemu dengan orang baru membuat saya terinspirasi dan termotivasi untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi, lebih berguna lagi.
Baru-baru ini saya juga mengikuti kegiatan Kelas Inspirasi. Bukan di Lampung, daerah saya sendiri, melainkan di Serang. Saya ditempatkan di sebuah sekolah di antara padatnya perumahan penduduk pinggir perkotaan. Siswanya pun sangat khas anak-anak yang ditinggal orangtuanya bekerja di pabrik, ada juga yang anak nelayan. Bahkan yang membuat saya miris adalah tempat sampah yang terletak di sisi kanan depan pintu gerbang sekolah yang menguarkan aroma busuk dan seperti tak ada yang peduli.
Di sana saya bercerita tentang profesi relawan, karena waktu itu memang saya belum bekerja. “Yang penting menanamkan karakter kerelawanan dan keikhlasan dalam diri anak-anak,” nasehat seorang senior. Pada akhirnya saya bercerita tentang ini-itu dan jungkir balik dunia relawan yang justru tergambar sangat menyenangkan.
Ketika itu saya justru terinspirasi dari keluguan anak-anak yang selalu ingin tahu. Bertanya macam-macam dari pengalaman yang saya ceritakan. Pada akhirnya mereka justru mengingatkan saya bahwa apa yang saya lakukan, apa yang saya dapatkan belum tentu bisa dilakukan oleh semua orang. Bahkan ketika saya mengingatkan mereka untuk ikhlas dalam belajar, ikhlas membantu orangtua di rumah tanpa mengharapkan apapun justru seperti menampar-nampar pipi saya sendiri. Sudah ikhlaskah saya? Selama ini saya berbuat demi apa? Benarkah hanya mengharap ridho Tuhan semata atau justru puja-puji semu dari manusia lainnya?
Mungkin itulah salah satu alasan kenapa banyak orang dengan profesi yang tinggi-tinggi sampai mau turun ke Sekolah Dasar. Mengambil cuti sehari dan juga merogoh kocek sendiri menyambangi anak-anak untuk sekedar bermain dan bercerita. Karena ternyata yang butuh dimotivasi adalah kita sendiri. Yang butuh inspirasi adalah kita sendiri. Merekalah sumber energi untuk bisa mengisi ulang motivasi yang mungkin sering kering.
Begitu juga ketika saya mulai menjalani profesi sebagai dosen muda. Tanpa tahu akan adanya seleksi, saya terpilih sebagai salah satu mentor kegiatan pelatihan softskill Strategi Sukses di Kampus (SSDK) di tempat saya mengabdi. Kegiatan ini akan berlangsung selama satu tahun guna membantu para mahasiswa pada Tahap Persiapan Bersama (TPB) agar bisa sukses menjalani kehidupan barunya sebagai mahasiswa. Membantu mereka melewati masa transisi dengan berani dan bertanggungjawab. Mungkin ini adalah skenario terbaik Tuhan atas diri saya.