[caption id="attachment_191128" align="alignleft" width="274" caption="relawandesa.wordpress.com/catego...a-warni"][/caption] Hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri. Maka, aku akan tetap mencintai negeriku sendiri. Mungkin ini bukan lagi sebuah pepatah, tapi sudah menjadi keniscayaan. Tidak hanya batu, di negeri ku tercinta ini sudah berpuluh bom molotov dilontarkan untuk menyerang para aktifis dan pers. Berpuluh bom bunuh diri diletuskan oleh mereka yang disebut 'teroris'. Ratusan kayu dan pentungan melayang mengporakporandakan rumah dan masa depan para pedagang kaki lima. Percikan api bergumul dengan udara membakar mobil, traktor dan rumah dinas, ketika calonnya kalah dalam pemilihan kepala daerah. Bahkan, sampai sekarang aku masih tidak percaya, seutas tali melayangkan nyawa Edi Wahyono (30), warga Sukabumi, Bandar Lampung, hanya karena kalahh taruhan bola pada perjudian wong cilik di kejuaraan dunia. Negeriku sedang beranjak dewasa. Mungkin, ia masih belajar di banyak hal. Banyak sisi yang tidak indah. Ketika berdiskusi dengan temannya yang sekarang studi di Amerika Serikat meraih gelar Doktornya, tersingkap juga betapa negeriku ini masih sangat indah, di tengah kegamangannya mencari identitas diri. "Disini sangat kompetitif. Semua diukur dengan dolar. No trust,"ujar temanku. "Bagaimana dengan suasana kekeluargaan?", tanya penasaran. "Tidak bisa dipukul rata. Setiap keluarga berbeda. Tetapi disini orangnya sangat cuek, tidak peduli dengan orang lain," jelasnya lagi. "Lalu, spritualitasnya?," kerjarku semakin penasaran. "Beragam. Tetapi secara umum 0. Gereja banyak yang kosong, sudah tidak ada yang peduli dengan Agama lagi,". "Weh. Aku baru tahu ini. Kompetisi, no trust, dan no God. Betapa gersangnya hidup,"kataku. "Yah, tergantung darimana kita memandangnya," ujarnya. Diskusi kita selesai. Betapa indahnya Indonesia. Pikiran itu meresap jauh di otakku. Melintas bayangan warga desaku yang selalu tersenyum setiap berpapasan. Ya, kalaupun tidak tersenyum, biasanya mereka sedang menghadapi masalah perut yang kosong dan kelaparan. Berpikir keras apa yang harus dikerjakan agar bisa makan nikmat hari ini. Melintas senyuman Bude, tukang momong anakku, saat syukuran karena rumahnya baru saja di pondasi. Dia tidak membangun rumah itu sendiri. Puluhan warga kampung menyumbang, ada yang mengumbang pasir, batu, papan, kayu, bambu, dan semen. Ya, imbalannya, mereka harus menyiapkan penganan dan makan besar untuk penduduk desa. Tidak apa-apalah, pikir Bude, masih bisa utang di warung. Toh, nanti diakhir bulan dibayar. Bude tersenyum sumringah. Di rumah itu berkumpul tiga anaknya, dan satu orang sudah berkelaurga dan memberikan cucu. Mampir juga suasana hiruk-pikuk mudik lebaran Idul Fitri. Saat, semua ingin pulang ke kampung. Sekedar mengecap lagi suasana batin berlebaran di rumah. Rutinitas mudik ini tidak pernah berhenti. Semakin globalisasi mendera, semakin kerinduan akan kampung halaman membuncah. Ternyata, mudik bukan sekedar rutinitas. Mudik sudah menjadi sebuah ritual untuk mengisi kembali batin yang gersang tergerus beban hidup. Ah, indahnya Indonesia. Sungguh. Ditengah para elite politik dan pejabat negara menghisap darah rakyatnya. Mereka sedang tergoda, hiburku dalam hati. Merebaknya warga yang bunuh diri, membunuh keluarga, dan saling menganiaya karena lapar. Ah, masyakat Indonesia memang belum selesai seputar masalah perut. Aku terus menenangkan hati menerima sisi yang tidak indah di negeriku. Tapi, satu yang pasti, aku cinta Indonesia. Negeri yang selalu dihujani batu, pentungan, bom molotif, bom bunuh diri dan berutas-utas tali gantung diri. Negeriku beranjak dewasa. Negeriku sedang gamang. Negeriku masih mudah tergoda. Tapi, aku yakin, Indonesia akan menemukan identitas dirinya. Indahnya negeriku, Indonesia :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H