Lihat ke Halaman Asli

Jarik Sedap Malamnya Simbok

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

"Katanya kamu pulang malam Zul...kok jam segini sudah masuk rumah"  tanya Mbok Jaenah pada Zulkifli anaknya

"Iya Mbok...perasaanku ngga enak jadi pingin cepet pulang..." jawab Zul sambil memandangi wajah Simboknya

"Ah..kamu ngga enak kenapa toh..wong ndak ada apa-apa kok, rumah itu sepi Zul..langganan batik juga sudah ambil pesenananya semua kemarin, jadi sepi banget hari ini, ngga ada yang mampir.."

"Ya..aku ndak tahu Mbok kenapa perasaanku begitu.." Zul menjawab sambil memperhatikan gerakan tangan Simboknya mengukir kain menjadi sebuah karya batik yang indah.

"Mbok...yang digambar itu gambar bunga sedap malam ya Mbok...??" tanya Zul sedikit terpaku, entah kenapa lukisan batik Simbok kali ini terasa berbeda dengan batik biasanya.

Mbok Jaenah mengangguk sembari terus mengoreskan canthingnya melanjutkan membatik, dengan penuh perasaan. Zulkifli pun tak bergeming menatap terus jari jemari Simbok yang makin keriput. Tak terasa usia Simbok sudah lewat dari 70 tahun, walau tidak pernah sakit berat, paling hanya flu atau masuk angin sedikit, bahkan masih kuat pergi sendiri  untuk menengok cucu-cucunya di Palembang, tapi untuk pergi haji sendirian Zul yang paling menentang .

Tiba-tiba Zul teringat ketika dia harus bersitengang dengan Marta, kakak iparnya yang sempat dia tuding sebagai perempuan yang tega hati, karena Marta justru mendukung permintaan Simbok untuk berangkat haji dengan Pak Warijan dan Bu Warijan tetangga mereka, tanpa dampingan dari keluarga sendiri.

"Apa ...buktinya aku tega sama Simbokmu itu..ndak ada ...Pak Warijan dan Bu Warijan itu tiap hari juga kau titipi Simbokmu, apalagi kalau Kau keluar kota. Nah..sekarang apa bedanya..toh sudah aku jelaskan tadi, bahwa Simbok pasti kita daftarkan sama-sama  dengan Bapak dan Bu Warijan di ONH plus...dengar Zul itu...ONH plus...bukan haji biasa...lagipula nanti aku juga bisa titip juga ke temen aku,  orang Kementrian Kesehatan yang kebetulan kawal haji ini...hah..kau ini ngata-ngatain nuduh kakakmu saja..." omel Marta tak berkesudahan karena kesal Zul sempat menudingnya.

"Apapun argumentasi Kakak, mohon maaf saya tetap tidak ijinkan Simbok untuk berangkat tanpa didampingi keluarga sendiri, terserah apa kata Kakak, karena Simbok adalah Ibu saya dan saya wajib menjaga keselamatannya.." kali ini Zul pergi dari ruang keluarga tanpa menoleh sedikitpun, tanpa melihat wajah Simbok yang susah karena anak-anaknya saling bersitegang untuk kepentingannya. Heri suami Marta yang juga kakak kandung Zul tak mampu berkata-kata, biar bagaimanapun yang membiayai Simbok memang Marta, gaji Heri tak akan mampu menaikkan haji Simbok. Profesi Marta sebagai seorang notaris yang laris manis, memang telah menjadikan hidup Heri tertopang sepenuhnya. Heri menuruni sifat Simbok Jaenah yang nrimo, juga bakat melukis, sehingga seniman lukis memang menjadi pilihan Heri, namun sejak krisis tahun 1999 kondisi Heri belum pulih benar. Lukisannya banyak yang tak laku terjual, walaupun sudah masuk ke beberapa galery di Jakarta.  "Mungkin memang belum rejekinya", inilah kalimat yang selalu disampaikan Heri kepada anak-anak mereka, ketika anak-anak menanyakan "kenapa lukisan ayah tak laku-laku ?". Yang menjadi semangat hidup bagi Heri adalah mengajar lukis anak-anak, sebagai guru lukis dia merasakan dirinya sangat dihargai, walau hanya oleh anak-anak TK.

Perseteruan Zul dan Marta pun  tak berlangsung lama, karena kemudian seperti durian runtuh, Heri tiba-tiba mendapatkan tawaran sangat tinggi atas sebuah lukisannya. Lukisan Bunga Sedap Malam yang sedang mekar, mampu menyelamatkan kerukunan keluarga besar Mbok Jaenah, bahkan menyelamatkan harga diri Heri selaku kepala keluarga. Akhirnya Heri memutuskan akan mengantar Simbok pergi haji, dan semua sepakat tanpa terkecuali. Marta yang sudah lebih dulu menunaikan haji tampak lega dengan limpahan rahmat Allah kali ini, akhirnya suaminya pun berangkat haji. Betapa sulit ia membujuk Heri untuk ikut dirinya menunaikan haji 3 tahun yang lalu, mungkin karena Heri tak mau menerima hasil keringat istrinya sebanyak itu, walau Marta sangat ikhlas untuk itu.

"Zul...masih ingat lukisan kakakmu Zul..." tiba-tiba Mbok Jaenah mengusik lamunan Zul.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline