[caption id="" align="alignright" width="202" caption="download from mbah google"][/caption] Telah dua hari berita tentang pak Tiffatul Sembiring yang berjabat tangan dengan Michelle Obama menghiasi berbagai media massa di Indonesia, hingga media massa di Amerika Serikat, seperti The Washington Post. Kehebohan berita ini juga mewarnai facebook, terutama twitter hingga kompasiana. Jika kita membaca twitternya pak Tifatul sembiring hari ini, maka akan terlihat bahwa retweet yang mendominasi account beliau masih membahas topik yang sama, yaitu jabat tangan. Sehingga pak Tifatul sampai siang tadi saya lihat i twitternya masih menjelaskan tentang kejadian tersebut, penjelasannya hingga belasan point. Inti yang bisa saya tangkap dari penjelasan tersebut adalah kejadian kemarin itu diluar dari keinginan beliau, beliau tidak memiliki pilihan untuk menolak dan beliau tetap meyakini tidak boleh bersalaman dengan wanita yang bukan muhrimnya, namun kadang2 pada keadaan tertentu ia terpaksa harus melanggar keyakinannya tersebut demi kesopanan dan karena keadaan... baiklah... kita tinggalkan dulu pak Tifatul. Saya ingin menceritakan sebuah kisah yang terjadi kira- kira 6 tahun yang lalu. Ketika tsunami melanda Aceh tanggal 26 Desember 2004 , saya berada di Yogyakarta, masih menempuh pendidikan di UGM. Saya mendapat kabar tsunami dari sepupu yang berada di Jakarta, dia menelpon saya kira- kira pukul 9.30 pagi. Mendengar itu, saya langsung menghubungi telpon rumah di Banda Aceh, tapi tidak tersambung. Hubungi HP kaka dan kedua adik saya juga tidak tersambung, hubungi no telepon tetangga hingga kenalan juga tidak ada satupun yang tersambung. Kemudian saya melihat berita tsunami tersebut dari running textnya Metro TV. Ya Allah.. rasanya saya ingin berlari sepanjang jalan kali urang sambil memanggil nama seluruh keluarga saya, atas inisiatif beberapa tetangga kost, mereka mencari tiket pulang untuk saya, namun jangankan tiket Ykt- Banda Aceh, tiket Ykt- JKT pun tidak tersedia, hari senin (27/ 12/2004), keadaanya juga sama, tiket pesawat habis. Akhirnya hari selasa, setelah stand by di Bandara Adi sucipto sejak pagi, saya dan 5 orang teman lagi yang berasal dari Aceh mendapat tiket Adam Air tujuan Ykt - JKT untuk penerbangan pukul 5 sore. Berdasarkan Informasi dari beberapa counter penjualan tiket , tiket JKT- Medan full sepanjang minggu, dan semua flight ke Banda Aceh di cancel sampai batas waktu yang belum diitentukan. Ketika itu kami berpikir, Alhamdulliah.. setidaknya sampai di Jakarta. Nanti setibanya di Jakarta, jika tidak ada flight ke Medan atau Banda Aceh, naik truk barang pun kami mau, yang penting kami tiba di Aceh karena hingga selasa kami tidak mendapat kabar apapun dari Aceh. Bisa dibayangkan bagaimana depresinya kami, dengan air mata yang terus mengalir. Pukul 4 sore, kami check in dan masuk ke ruang tunggu. Kketika sampai di ruang tersebut, teman saya berkata "Rin! itu ada pak Hidayat.. ketua MPR, coba bicara dengan bapak itu.. minta tolong diadakan flight ke Aceh". Saya yang sedang pusing karena terlalu banyak menangis dan tidak tidur - tidur selam 3 hari, hanya menatap kosong pada 4 orang lelaki yang berdiri kira- kira 20 meter dari tempat kami duduk. " Ayo cepat " !!! teman saya yang sadis itu langsung menarik saya berdiri dan mendorong saya kearah pria- pria tersebut , "yang ditengah, yang pakai baju batik"! teriak teman saya. Maka dengan semangat dan harapan yang tiba- tiba muncul, saya berlari ke arah pria berbaju batik tersebut, dan tanpa melihat wajahnya, saya langsung menarik kedua tangannya, dan menggenggamnya erat- erat dengan kedua tangan saya. "Pak... saya mahasiswa dari Aceh... tolong saya pak... saya mau pulang, tapi tidak ada pesawat, semua pesawat penuh, sampai hari ini saya belum dapat kabar dari rumah... tolong saya pak!!" saya terus berbicara dengan sedikit histeris dan dengan kedua tangan bapak tersebut masih saya pegang erat- erat. Kemudian bapak itu menjawab dengan suaranya yang halus dan menyejukkan.. "Sabar mbak., kita harus takwakal, saya berdoa untuk keluarga mbak dan rakyat Aceh, semoga semua selamat ". Mendengar suara itu, saya langsung melihat wajah si Bapak... Ya Allah... rasanya saya mau pingsan detik itu juga.. Rupanya pak Hidayat yang dikatakan oleh teman saya itu, Hidayat Nurwahid, presidennya PKS and ketua MPR saat itu. Ya Allah, saya pikir tadi itu adalah pak Hidayat ketua DPRD Aceh (sementara nama ketua DPRD Aceh saat itu juga bukan Hidayat, saya benar- benar error waktu itu he.he..). Dengan bingungnya saya terus menatap pak Hidayat, dan dengan tangganya yang masih saya genggam erat- erat. "Coba saya hubungi pak Hatarajasa ya, untuk cari info, apakah ada penambahan pesawat khusus ke Aceh". Ketika itu pak Hatarajaya masih menjabat menteri perhubungan. "Saya telpon sekarang ya mbak". mendengar itu saya langsung melepaskan tangan pak Hidayat, dan pak Hidayat langsung mengambil telepon genggamnya untuk menghubungi pak Hatarajasa. Namun diulangi hingga 3 kali, telpon pak Hatarajasa tidak tersambung. "Mungkin pak Hatarajasa sedang meeting dan Hp nya di off mbak, tidak apa- apa, saya SMS dulu beliau, nanti kalau SMS-nya sudah masuk, akan saya telpon lagi". Ya Allah... baiknya bapak ini, dengan wajahnya yang bersinar. "Terimakasih banyak pak... saya mohon sekali pertolongannya". "Ya mbak... saya mengerti... kita harus banyak berdoa ya... ". "Ya pak... Terimakasih... Assalamaualaikum". saya langsung mengambil langkah seribu, kembali ke kursi dimana teman- teman saya menunggu. Sampai dikursi, teman- teman saya berseru kagum sekaligus ngomel, karena saya sudah berani- beraninya mengenggam tangan pak Hidayat Nurwahid (padahal menurut mereka, Pak Hidayat tidak berjabat tangan dengan wanita yang bukan muhrimnya). Nah... kok yang diomelin... saya kan tidak sengaja ! [caption id="" align="alignright" width="258" caption="Hidayat Nurwahid"]
[/caption] Ternyata flight kami dan pak Hidayat sama, sangat mengagumkan karena sebagai ketua MPR, beliau masih menggunakan penerbangan swasta kelas ekonomy. Wah.... Kemudian, kira- kira 3 jam setelah kami sampai di Soekarno Hatta (tanpa ada harapan apapun, karena tidak ada satu maskapaipun yang masih memiliki seat ke Medan selama minggu itu) dan kami hanya duduk terpengkur di dinding musholla, meratapi nasib keluarga yang tidak ada kabarnya hingga hari itu. Kemudian tiba- tiba terdengar pengumuman dari pusat informasi bandara, jika besok pagi pesawat Mandala Airways akan membuka rute penerbangan baru, yaitu JKT- Banda Aceh dan counter tiket akan di buka, besok pukul 7 pagi. Ya Allah... kami berurai air mata mendengar pengumuman tersebut. Apakah rute baru yang dibuka secara mendadak ini, atas campur tangannya Pak Hidayat Nurwahid? hanya Allah yang tahu tapi kami tetap mengucapkan Terimaksih kepada beliau. Kembali ke berita pak Tifatul dan korelasinya dengan cerita saya diatas? Saya hanya membayangkan, seandainya Pak Tifatul yang berada pada posisi Pak Hidayat waktu itu dan kejadiannya terjadi sekarang, apakah berita itu akan begitu hebohnya dan banyak orang yang akan menghujat beliau sebagai orang yang munafik? sedikit bayangan lagi, seandainya pak Hidayat waktu itu adalah pak Tifatul, apakah tega pak Tifatul menarik tangannya yang sudah saya genggam erat-erat atau mendorong saya agar tidak menyentuhnya, sementara saya dalam keadaan tertekan dan bersedih? Jika beliau melakukan itu, saya yakin saya akan langsung pingsan di tempat. Saya baru memahami, keadaan inilah yang dimaksud oleh Pak Tifatul sebagai keadaan tertentu, dimana beliau terpaksa melanggar keyakinannya untuk tidak berjabat tangan dengan wanita yang bukan muhrimnya. Keadaan tertentu ini pula yang mungkin menjadi pertimbangan pak Hidayat Nurwahid, sehingga beliau tidak menarik paksa tangannya yang saya genggang erat atau menolak saya untuk tidak mendekatinya. Beliau lebih mempertimbangkan perasaan dan keadaan saya, dari pada prinsipnya. Sekali lagi Terimakasih pak... Bisa dibayangkan, apa yang akan terjadi jika pak Tifatul menolak uluran tangan Michelle Obama? Bukan hanya nama dirinya yang akan dihujat, tapi juga bangsa ini akan dihujat oleh dunia, sebagai bangsa yang tidak tahu sopan santun dan tidak menghargai tamu dan pastinya Michelle Obama juga akan malu hati, mana yang lebih baik? menerima jabat tangan, atau menolak? dan sebenarnya persoalan ini adalah hal sepele. Jika pak Tifatul melanggarpun, yang ia langgar adalah prinsip dan keyakinannya sendiri, tidak merugikan orang lain dan tidak ada yang tersinggung, terluka atau mati karena jabat tangan tersebut. So.... jangan hyperbola ahhhhhhhhhhh.....
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI