Lihat ke Halaman Asli

Roro Asyu

#IndonesiaLebihLemu

"Bungkeuleukan", Bukan Sekadar Film Horor

Diperbarui: 1 November 2020   12:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi: Instagram Bale Films

Jika bayanganmu film horor itu harus banyak penampakan setan, selalu dibuat takut atau sering-sering dibuat kaget dengan jump scare, film ini mungkin tidak akan memenuhi ekspektasimu. 

"Bungkeuleukan", sebuah film pendek yang diproduksi oleh Bale Films, Sabtu kemarin ditonton juga didiskusikan bersama KOMik Kompasiana, Kompasianers Only Movies enthus(i)ast Klub, atau komunitas penulis dan pencinta film Kompasiana. Mesti diputar saat momen Halloween dan disebut-sebut sebagai film horor, "Bungkeuleukan" sendiri bergenri drama, supranatural.

Berdurasi 38 menit, film yang ditulis dan disutradarai oleh Agung Jarkasih ini berkisah tentang Jantra, seorang bapak tunggal, yang tinggal bersama anak laki-lakinya, Amar. 

Jantra punya keinginan membeli sebuah rumah di perumahan mewah. Bekerja sebagai buruh dan tinggal di dusun, Jantra mencoba mencari peruntungan dengan judi togel. Tidak hanya itu, Jantra juga meminta bantuan seorang dukun dan melalukan ritual mistis di kuburan agar nomor yang dipasangnya bisa keluar.

Menonton film ini kita akan disuguhi dengan pemandangan dusun yang masih asri juga kehidupan masyarakatnya yang guyup. Adegan ini bisa dilihat saat Amar, anak Jantra, yang kala itu sedang demam tiba-tiba menghilang. 

Konon, Amar dipercaya dibawa wewe gombel. Jantra dibantu warga  berkeliling dusun mencari Amar. Bukan hanya judulnya, seluruh dialog di film ini juga menggunakan bahasa daerah, menguatkan pesan tentang kearifan lokal juga urban legend seperti munculnya genderuwo.

Dengan ending yang dibuat menggantung, film ini seakan ingin mengajak penonton bukan hanya untuk berpikir, tapi juga merenung. Ada masalah yang lebih menakutkan dari sekadar penampakan pocong, wewe gombel atau hal-hal supranatural lainnya. 

"Bungkeuleukan" mengangkat masalah sosial yang lebih nyata, sangat nyata, yaitu kemiskinan.  Film ini juga menyoroti pembangunan yang hampir selalu punya dua mata sisi. 

Satu sisi pembangunan adalah untuk mengikuti perkembangan zaman, peradaban, di sisi lain alam yang menjadi rusak. Protes, kritik di film ini disampaikan dengan "bantuan" hantu, disuarakan oleh roh yang merasuki warga, diteriakkan. 

Kritik yang juga coba dihembuskan lewat angin yang meskipun tidak terlihat, tapi bisa dirasakan dan mampu menggerakkan lonceng bambu di depan rumah Jantra.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline