Lihat ke Halaman Asli

Roro Asyu

#IndonesiaLebihLemu

Bosan: Bangun Sendiri Kantormu

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bosan jadi karyawan atau justru tak pernah ada keinginan menjadi karyawan, katakan padaku, kurasa aku bisa sedikit sok tahu dengan bilang kalau aku pernah merasakan. Rutinitas yang berjajar seperti abjad a, b, c dan seterusnya dan kembali ke a lagi ketika sudah sampai pada z, tak perlu kau katakan, aku tahu betul seperti apa rasanya. Setiap kali yang ditunggu hanyalah waktu, agar berjalan secepatnya kalau perlu berlari, sedang kita tahu satu jam tidak akan pernah lebih dari enam puluh menit. Setiap hari yang dinanti adalah akhir pekan, kapan sabtu dan minggu akan datang. Menghitung minggu yang tak pernah kurang dari tujuh hari, mencari-cari seandainya ada angka yang berwarna merah pada kalender.

Atau masih seorang karyawan yang telah memantapkan keyakinan untuk mengabdi pada perusahaan, pada instansi atau apapun yang membayar jerih payah kita setiap bulan, hidup adalah pilihan dan bosan adalah cobaan, ujian. Tak ada masalah dengan ritme kerja karena rekan kerja mampu menghapus gurat-gurat kepenatan, bukan hanya teman tapi sudah menjadi sebuah bagian dari keluarga besar yang mungkin susah untuk didapatkan. Jalan-jalan sepulang kerja, sekedar makan sambil membicarakan karyawan baru di kantor yang terlihat menyebalkan atau atasan yang katanya punya simpanan kadang jadi pelampiasan. Bertemu bosan di persimpangan hari ketika itu-itu saja yang ditemui karena bosan bisa muncul darimana saja dan punya ribuan rupa, tak juga bisa dihindari.

Jika bosan adalah cobaan cukupkah tabah yang menjadi pilihan? Membiarkannya toh nanti hilang sendiri, aku tidak yakin. Kalau bosan adalah ujian, tentu harus bisa dikerjakan, dituntaskan dengan sebaik-baiknya. Bosan adalah tantangan yang muncul di semua level dan sisi kehidupan. Bosan harus dikalahkan jika tidak ingin terkontaminasi dan berubah menjadi jiwa yang membosankan. Membosankan aku yakin adalah kata yang tidak ingin dijadikan label pada setiap individu, tentunya dalam levelnya masing-masing. Mengenali level kebosanan dan seberapa membosankan kita bisa menjadi langkah pertama menghadapi tantangan ini.

Tidak ingin bicara untuk apa yang tak diketahui, mungkin mengandai-andai atau sedikit perkiraan tanpa mencoba menyamaratakan. Hanya ingin berbagi atas apa yang pernah dilalui dan sedang diperjuangkan. Seberapa bosankah kita? Ribuan kali kubilang bosan dan masih kulakukan. Setiap bercerita entah berapa kali kata bosan muncul dalam setiap kalimat yang keluar, masih belum juga ditinggalkan. Bayangan-bayangan yang muncul dari rasa takut, tak aman, bahkan juga malu menjadi sosok setan yang menyeramkan. Tidur bukan lagi kebutuhan tapi kewajiban meski yang terjadi mata tak kunjung terpejam sampai dini hari. Membenci, memaki bukan hanya pada apa yang dirasa tidak benar karena semua memang tidak ada yang terasa benar. Tekanan yang sebelumnya tidak dirasa semakin nyata, mudah emosi dan semakin sering ke kamar mandi.

Mungkin terdengar lucu, tidak masuk akal tapi kurasa ahli kesehatan atau kejiwaan tahu bahwa pada tahap seperti ini bosan telah mewujudkan bentuknya dengan apa yang disebut stress. Kram perut setiap hari, asam lambung meningkat, tidak nafsu makan bahkan sampai meriang tapi begitu keluar dari kantor semua langsung hilang. Rasanya beban yang menggelayut di pundak lenyap tanpa bekas, membuat kebingungan baru karena surat keterangan sakit harus tetap diserahkan. "Aku bosan dan aku tidak bisa terus melakukan yang seperti ini setiap hari," keputusan pun dijatuhkan, sebuah pilihan demi menyelamatkan diri dari lubang yang lebih dalam. Bisakah dibilang mudah? Entah bagimu, bagiku bukan lagi sesuatu yang sebaiknya diambil tapi harus diambil meski kemudian dipertanyakan, diprasangkakan. Terbiasa ada kemudian tak ada, terbiasa disapa sekejap saja semua sirna, hanya tentang seseorang dengan pilihan yang sudah dijatuhkan. Tak terlalu berpikir dengan apa yang akan terjadi, yang dia tahu jiwanya lebih penting untuk diselamatkan dari rasa bosan dari hal-hal yang akan membuatnya menjadi orang yang membosankan.

Gelar baru telah disandang, bukan lagi karyawan. Orang bilang pengangguran meski terdengar ganjil karena pengangguran adalah orang yang tidak punya pekerjaan sedang yang terjadi, banyak yang aku bisa kerjakan. Tidak mudah karena setelah tantangan bosan dihadapi dengan sebuah keputusan besar, mengundurkan diri, tantangan yang lebih besar sudah siap menanti. Meyakinkan diri sendiri meski harus diulang ribuan kali masih bisa dilakukan, meyakinkan orang lain kupilih tak kulakukan. Saat seperti ini yang lebih penting adalah mengenali diri sendiri, apa yang dimaui, apa yang ingin dilakukan. Orang boleh bilang, silahkan jika ingin menilai tapi saat ini semua hanya didengarkan, mungkin dipertimbangkan tapi pembicaraan yang lebih penting adalah antara aku dan diriku.

Tidak berani bilang mudah, satu kepala ribuan bahkan jutaan isinya. Kepala-kepala yang lain sementara disingkirkan saja. Menata kembali sebuah tembok rutinitas yang baru saja dihancurkan. Mencoba membuat pondasi yang kuat dengan dasar sebuah impian, impian yang sudah lama terpendam, impian yang sempat mati suri karena rutinitas yang tak lagi memberinya ruang. Sebenarnya bukan karena tak ada tapi sudah diambil alih oleh bosan yang membuat jiwa ingin dimanjakan, di level ini aku berubah menjadi orang yang membosankan. Sudah mengenali bosan, tentunya harus mengenali antidote-nya, penangkal. Dan penangkal itu adalah melakukan apa yang selama ini kuinginkan, impikan.

Untuk beberapa saat menarik diri dari pergaulan yang biasa ditemui, memberi waktu untuk bicara pada diri sendiri sekaligus mencoba menghilangkan racun-racun akibat bosan yang telah mengakar. Melakukan apa yang selama beberapa tahun terakhir tidak bisa dilakukan, merasakan apa yang sudah lama tak bisa dirasakan. Menghirup udara segar dan mengganti hawa panas yang sering membuat badan meriang. Melihat hehijauan yang bukan hanya menyejukkan mata yang terlalu lelah memandangi layar komputer dengan semua huruf, angka ataupun tabel tapi juga hati yang mudah sekali panas ketika telinga harus mendengar kata yang kadang tidak layak didengarkan.

Berapa lama? Aku cukup lama, beberapa bulan, mungkin karena bosanku sudah pada level yang mengkhawatirkan bukan hanya fisik tapi juga kejiwaan atau sebaliknya. Tak lama merenung karena mimpi sudah begitu jelas, waktunya untuk mengerjakan. Apa yang dilakukan tentunya disesuaikan dengan apa diinginkan, apa yang dikejar. Kubangun tembokku kembali dari sebuah mimpi melalui satu keputusan dengan satu keyakinan kalau aku bisa menjadi lebih dari aku saat ini. Kubangun kantorku sendiri meski aku bukan lagi seorang karyawan. Membuat rutinitas sendiri dengan "jadwal" yang harus kupatuhi sendiri. Apakah mudah? Tidak semudah angan-angan. Tidak ada yang menyuruhku, tidak ada yang memaksaku, tidak ada yang akan memaki kerjaku, tidak juga ada yang menuntunku. Jadi seperti apa, benar-benar sesuai dengan hasil kepalaku, sesuai dengan apa yang aku bisa usahakan. Bisa jadi bisa juga sebaliknya tak berbuah apa-apa karena sekali lagi ini tentang satu individu, aku.

Kubangun kantorku sendiri, mau pasang ribuan gambar artis atau foto pribadi di dinding pun tak masalah. Mendengarkan musik mulai yang paling lembut sampai yang memekakkan telinga juga tak jadi soal. Kubangun kantorku kedap suara karena bukan hanya sedang bosan bicara aku juga sudah bosan mendengar. Duduk di kursi, selonjoran atau bahkan guling-guling, tinggal menyesuaikan saja. Makanan, minuman atau camilan apapun keluarkan saja karena ketika buntu mulut lebih ingin bekerja. Bisakah resistan dari rasa bosan? Tidak. Bertemu teman lama mengobati lara akan kenangan lama, bertemu teman baru menambah wawasan juga ilmu, kembali dengan kepala yang mendesak untuk ditumpahkan isinya.

Kubangun hidupku dari buku yang sama dengan lembar yang baru. Bilang bebas, lebih bebas mungkin iya tapi mendisiplinkan diri dan membuat aturan sendiri meskipun untuk dipatuhi sendiri juga tidak mudah. Masih kutemukan rasa bosan yang menjadi tantangan. Semakin banyak cobaan dan ujian yang harus diperjuangkan, dari dalam lebih-lebih dari luar. Tak ingin menyalahkan budaya karena manusianya yang kadang tidak bijak menyikapinya. Baru tahu dan sudah berani banyak bicara, baru kenal dan dengan percaya dirinya menjadi hakim yang semena-mena menjatuhkan penilaian. Sebuah proses yang aku yakin hanya satu dari sekian banyak proses yang harus aku lewati.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline