Lihat ke Halaman Asli

Roro Asyu

#IndonesiaLebihLemu

Mimpi yang Tergantung

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mau disebut apa, terserah. Mau dibilang apa, masa bodoh. Tentang mimpi yang membuat mood naik kemudian terlempar, sekarat. Mimpi yang muaranya satu tapi biasnya beribu. Tentang sebuah jiwa yang mempertanyakan tujuannya. Sekian kali jatuh, sakitnya begitu-begitu saja. Sekian lagi rapuh, imbasnya juga tak jauh berbeda. Bergulingan pada tanah bersama bumi yang biasa dipijaknya, bumi yang akan memeluknya. Kadang ingin terkubur tapi lebih memilih menjadi pengecut dengan mengubur keinginannya.

Dulu, jangan tanya cita-cita, mimpi pun tak ada. Apa yang diinginkan, asal bisa tertawa sepuasnya, dengan atau tanpa teman-temannya. Dunia begitu luas meski kadang juga terasa begitu sempit tapi dia punya dunianya. Tak luas tapi tak terjelajahi karena banyaknya ruang yang semula terlihat kosong ternyata begitu ramainya. Dunia yang akan terlalu sulit untuk kau mengerti. Dunia yang lebih mirip gelembung sabun, transparan, tak berwarna, sekali sentuh dan hancurlah dia.

Dulu, mimpi pun tak berani. Seringnya melihat kepalsuan membuatnya enggan meski hanya untuk berandai-andai. Melihat sebuah kesengsaraan dan diulurkannya gelembung mimpi, andai dikabulkan biarkan mereka yang lebih dulu menikmati. Tak ada penyesalan atau keraguan tentang apa yang mungkin terjadi nanti karena ketika menunduk yang dilihatnya jauh lebih ngeri. Sebuah ketiadaan yang sering disebut kengerian ini. Kengerian yang mungkin sama dengan apa yang orang lihat ketika memandangnya. Tapi dia tak peduli karena yang dia rasa, dia tak kesulitan untuk tertawa meski tangis juga sering menghampiri.

Kemudian, tanpa mimpi dan tiba-tiba semua terjadi, bagai sebuah mimpi. Apa yang tak pernah disangka bisa dia nikmati. Mungkin seseorang meminjaminya gelembung mimpi dan meniupkan pinta pada tuhannya. Berjalan di antara kengerian-kengerian yang nyatanya mampu dia lalui. Meraih satu demi satu gelembung mimpi yang secara tak sadar pernah ditiupnya. Menyembunyikan kengerian di antara gelak dan canda. Menyimpan kengerian dan membungkus dengan angkuhnya. Bukan tak peduli tapi tak ingin diketahui. Jika dengan tak terlihat gelembung mimpinya akan aman, diacuhkan bukan lagi pilihan tapi dengan senang hati dia lakukan.

Kemudian, mulai muncul gelembung-gelembung mimpi lain. Meski tak berwarna tapi matahari meminjaminya rupa, dengan cahaya dia membiaskan beribu cerita. Apa yang terjadi, tak dipikirkannya. Apa yang terjadi, terjadi saja. Naik tentu tak bahaya, turun pun sampai seberapa rendah yang belum pernah dicapainya. Sedang dia bukan hanya pernah terbanting tapi terkubur dihimpit bumi. Bukan ingin sombong tapi dia tahu kekuatannya. Bukan ingin menantang, dia tahu kuasanya. Tak lebih banyak dari gelembung-gelembung mimpinya, tak juga lebih kuat dari gelembung-gelembung mimpinya. Dia hanya ingin menerima karena dia juga tahu dia tidak bisa menolak.

Saat ini, ketika dihempaskan kembali pada satu gelembung mimpinya dia merapuh. Apa mau dikata, tak ada, sadarnya masih sama. Jiwanya tak jauh berbeda. Mimpinya kurang lebih sama. Yang dilihatnya tak juga berubah. Tak ingin bicara kepalsuan karena akan terlalu muak membahasnya. Tak ingin bicara kengerian karena yang terlihat tak seperti yang dia rasakan. Tak mampu mereka cerna dengan mata apalagi kepala yang lebih ingin berteriak daripada mendengar. Hanya pada mimpi yang tergantung di langit-langit kamarnya, entah kapan mampu dipeluknya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline