Lihat ke Halaman Asli

Cerpen| Bayangan Sang Batas Asa

Diperbarui: 5 September 2016   22:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

wallpaper.zone

Dan kemudian aku merasakan ini: kehilangan waras yang aku pertahankan. Bahkan jari-jemari tak mau bergerak menuding tulisan suka atau menggenggam harapan yang ada. Buku-buku itu bersama iramanya, bersama sajak sayunya, mereka tergeletak lemah di antara malam yang menunggui pagi. Di atas lantai hingga menumpuk di ranjang yang seharusnya menyimpan kenikmatan untukku beradu malam setiap detiknya di kesendirian. 

Sejenak bayangan itu menertawakanku yang berkali-kali akan terjatuh dalam kantuk yang menghebat, bahkan membisikiku untuk larut dalam penat yang menjerat. Agar buku itu kumusnahkan dari niat.

"Kau tak perlu menuliskan. Buang buku-buku sayu itu. Tak usah membaca dan bermimpi. Bodoh!!!" 

Bayangan itu memaksa menidurkanku dalam keinginan untuk terjaga. Jemariku masih ingin bergulat dengan keyboard hitam, aku nyalakan kembali laptopku dan menepiskan ragu yang menggunung. Bab tiga, novel ini masih berceceran meretak.

Bayangan itu datang lagi, membisikiku untuk menyerah dengan buku yang coba aku untai. Bahkan buku itu membuatku terjatuh berkali-kali di tengah malam saat mereka menikmati mimpi. Jika harus mati dua atau tiga kali untuk buku yang aku buat ini, aku tak mengapa akan mati - setelahnya. Lembar demi lembarnya akan kaya penikmat dengan rasa membuncah. Atau lembarannya akan menjadi sarapan yang mengenyangkan perut pembaca. Sekali lagi ia menyeretku dalam bisikan yang menggairahkan untuk beranjak.

"Apa tak berkaca saja. Kau tak cakap dalam tulisan yang tak layak baca. Tanganmu tidak bagus untuk mengkaryakan buku, mereka akan menangisi jijik jika membaca karyamu."

"Apa kau benar?"

Aku menantangnya untuk berargumen dalam malamku. Karena seingatku hanya ada aku dan buku di malam ini. Sekalipun aku mengundang bayangan itu kemari, untuk mencari. Apa? Yang ingin dia dapati - aku tak sungguh memahami.

"Karya itu mencekikmu pelan, menyerahlah. Taruhlah kembali. Letakkan jemarimu saja. Buanglah bukumu. Tak perlu kau menuliskannya."

Aku menangis melihat karyaku yang masih berhamburan. Sajak yang tak beraturan, cerita monoton yang membosankan. Aku membenarkannya kali ini, buku membuatku mati dan mencekikku pada masanya. Namun aku menyusunnya menjadi kalimat untuk mengusir bayangan itu dari malam yang aku daki demi sebuah kelayakan untuk buku ini.

"Enyahlah. Benar buku begitu menyiksa dan mematikanku sebentar-sebentar. Namun aku - tak membutuhkan bayangan. Segumpal bayangan kotor yang mengarakku pada keputus asaan."

Aku mengusirnya malam ini. Dan esok,

"Aku akan tiba lagi" - iya, itu sudah pasti.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline