"Saya terbiasa menulis entah itu fiksi maupun non fiksi, namun satu hal yang belum pernah bisa saya tuliskan adalah indahnya kasih sayang ibu. Karena tidak ada satu kalimat pun yang dapat mendeskripsikan keindahannya."
Saya tidak tahu, seperti apa bahagianya ibu ketika saya masih berada dalam kandungan. Bagaimana kekuatan ibu mempertahankan saya selama kurang lebih sembilan bulan. Serta ketika saya tumbuh membesar dalam kandungan mungkin ibu sering kewalahan, tidur tak nyenyak, duduk tak enak, lalu rasa sakit ketika melahirkan yang tak dapat saya bayangkan.
Saya tidak bisa mengingat bagaimana indahnya senyum ibu dan ayah, ketika saya menangis untuk yang pertama kalinya. Saya tak ingat, bagaimana kencangnya tangisan saya setiap malam yang membuyarkan keinginan beliau untuk beristirahat.
Saya juga tak dapat membayangkan bagaimana sibuknya ibu, ketika menggendong saya beliau juga harus mempersiapkan menu untuk makan siang ayah. Belum lagi beliau harus melakukan tugas rumah yang lainnya. Namun yang pasti beliau adalah wanita terbaik yang pernah saya temui.
Ibu tak pernah memakai make up. Saya sering membayangkan jika ibu mulai memakai lipstick, lalu saya menangis karena lapar, pasti ibu akan menyusui saya terlebih dahulu. Selesai menyusui saya ibu akan melanjutkan memakai lipstick, namun sebelum ibu memakai lipsticknya kembali saya menangis lagi karena ngompol, akhirnya saya berfikir saya adalah segalanya bagi beliau.
Berkali-kali saya pandangi foto ibu ketika masih muda, badannya ramping betisnya indah dan rambut yang mengembang terawat. Setelah saya lahir, yang saya tahu ibu tak pernah menyesal karena tak seramping dulu lagi.
Sejak saya belum sekolah, ibu tak pernah memarahi saya kecuali jika saya melewatkan buku dalam satu hari saja. Entah itu buku dongeng, majalah anak, maupun buku 1000 Puisi untuk Pak Harto yang berkali-kali saya baca. Beliau selalu bilang, buku adalah sahabat sampai nanti diakhir zaman.
Ibu akan memukul saya ketika saya memukul anak tetangga. Ibu bilang, jika saya nakal hatinya terpukul lebih sakit daripada pukulan yang saya terima. Dari situlah ibu mengajarkan saya bagaimana harus meminta maaf.
Ibu bukanlah wanita karir, namun beliau mendedikasikan hidup untuk anak-anaknya agar tumbuh dewasa dengan kasih sayang dan perhatian yang tak kurang. Saya juga jarang melihat ibu membeli baju baru, namun untuk saya setiap bulan akan selalu ada baju baru.
Ibu memang bukan seorang penyair terkenal. Namun berawal dari puisi yang sering beliau tuliskan, saya sempat meraih juara pertama menulis puisi di sekolah menengah.
Ibu bukanlah seorang sarjana, namun ibulah yang pertama kali mengajarkan bagaimana menyusun kalimat menjadi sebuah paragraf, hingga akhirnya saya bisa menyelesaikan skripsi saya dengan nilai A.