Lihat ke Halaman Asli

Ilmu Tentang Harta, Saya Belajar dari Tukang Becak

Diperbarui: 18 Agustus 2016   18:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dari Majalah TIME

Pagi ini dunia sangat redup, tak ada awan yang terlihat menggantung di langit sana. Saya masih duduk di ranjang, bersahabat dengan dinginnya AC di ruang kamar. Tangan saya memainkan lembar demi lembar sebuah majalah pemberian dari seorang teman, bulan lalu. Akhir-akhir ini saya sibuk dengan kegiatan organisasi yang menangani buruh migran, sehingga saya tak banyak waktu untuk membuka media cetak. Terlebih lagi kemampuan berbahasa Inggris saya sering patah-patah, terpaksa pelan-pelan saya berusaha menikmati majalah berbahasa Inggris ini.

Dari Majalah TIME (July 11 / July 18 2016) pada halaman 52, iklan ini begitu menarik perhatian saya pagi ini, terlebih lagi ada cipratan syair pendidikan di dalamnya. "Hirabai began walking to school when she was a little girl. It was an exhausting, dangerous two-mile journey from her home in rural India. At 14, she started attending a high school even farther away, unsure of how she would complete her education....." Iklan tersebut mengingatkan saya betapa pentingnya pendidikan, bagaimana banyak orang yang haus akan pendidikan meskipun pada akhirnya pendidikan itu tak mengantarkannya pada karir yang mapan.

Itu hal yang wajar, seperti ketika Tuhan tak pernah menjanjikan pelangi sehabis hujan. Ketika masuk ke bangku SMA atau kuliah, mereka (Kepala sekolah dan Rektor) juga tidak pernah menjanjikan sebuah pekerjaan setelah yang bersangkutan menyelesaikan pendidikannya. Pada sambutan-sambutan di ospek yang mereka tegaskan adalah proses belajar mengajar dan ilmunya, bukan tentang karir setelahnya.

Ketika otak saya meramu berbagai makna dan fakta pendidikan yang sesungguhnya, pagi ini ingatan saya melesat kencang ke lima tahun yang lalu. Saya tak pernah menyesali musibah yang terjadi, karena yang saya tahu, Tuhan selalu punya rencana yang baik untuk hamba-Nya. 

Saya berusia sembilan belas tahun waktu itu. Dan pagi itu, saya harus berangkat ke kampus untuk mengikuti UAS semester empat di IKIP PGRI Madiun. Namun tak seperti biasa, hari itu saya harus naik bus karena suatu keadaan. Adik saya baru kecelakaan dan motornya rusak parah. Motor butut yang biasa saya kendarai harus saya tinggal di rumah untuk mengurus keperluan lainnya. 

Sejujurnya saya bukan orang yang mudah akrab dengan bau solar dengan kondisi bus yang seharusnya sudah pensiun. Saya tak punya pilihan lain. Trenggalek tidak memiliki stasiun kereta api, sehinggga bus lah harapan saya satu-satunya.

Setelah tiga jam naik bus dan sempat oper satu kali, akhirnya saya sampai di perlimaan Te'an, Kota Madiun. Hari belum terlalu siang, saya masih punya dua jam lagi sebelum ujian dimulai. Karena sudah tidak kuat mabuk solar, akhirnya saya memutuskan untuk turun di perlimaan itu. Saya bingung, itulah pertama kalinya saya naik bus dari Trenggalek ke Madiun. 

Waktu itu saya juga sudah cukup teler dengan bau solar, rasanya saya tidak ingin naik angkot. Beruntungnya saya, tak jauh dari situ ada beberapa tukang becak yang sedang "cangkruk". Setelah menunjukkan alamat yang saya tuju, salah seorang dari mereka bersedia untuk mengantarkan saya.

Kami menuju perumahan Bumi Mas yang tak jauh dari kampus IKIP PGRI Madiun. Bapak tua itu sesekali terbatuk dan mengayuh lebih pelan. Mungkin karena jarak yang kami tempuh agak jauh, atau karena saya yang terlalu berat, saya juga kurang yakin. Untuk memecahkan suasana akhirnya saya ajak beliau berbicara.

"Bapak capek ya, maaf ya Pak."

"Tidak Mbak, memang beberapa hari ini saya tidak enak badan."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline