Lihat ke Halaman Asli

Menakar Semangat Arah Busur UU No. 11 Tahun 2012 tentang SPPA (Sistem Peradilan Pidana Anak)

Diperbarui: 18 Juni 2015   08:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu dasar pentingnya SPPA yakni mengembalikan harkat martabat anak, dimana penjara bukan satu upaya terakhir dalam melakukukan pembinaan untuk anak. Diversi dan restorative sebagai media guna melakukan upaya meminimalisir kejahatan masuk dalam ranah formil. Dan bagaimana ikut melibatkan dan memainkan peran serta lingkungan sekitar dalam berpartisipasi terhadap pengembalian harkat nilai-nilai yang telah tergerus dalam pengambilan kebijakan bersama kala seorang anak yang belum mencapai 12 tahun untuk ditahan.

Ideal memang, jika kita kembali pada semangat nilai-nilai yang terkandung dan tertanam. Kita sudah cukup lama terlupa akan lingkungan yang santun dan patuh, dalam konteks kekeluargaan dan kebersamaan. Bagaimana mampu turut andil dalam berpartisipasi dalam kategori penganut anak merupakan titipan yang berharga yang layak dijaga dan dibimbing demi pencapaian harmonisasi dirinya dimasa kelak.

Sejak bergulirnya nasionalisasi sistem kebijakan peradilan pidana sebagai alat pemaksa dalam mengatur hubungan lintas bermasyarakat dalam menahan diri dan mengendalikan tingkat kejahatan. Tatanan budaya dan entitas sebagai ciri khas kita hilang bagai ditelan bumi. Musyawarah sebagai konteks pemecahan masalah, lebih hebat dan ampuh ditangan para penegak hukum meskipun itu dipandang sangat naïf dan cendrung membuka ruang konflik baru.

Keadilan yang hakiki, lebih dipercaya di palu sang hakim atau di juru ketik para kepolisian. Meskipun terkadang, isarat hukum tidak bermartabat dan bahkan tidak ada. Kerap berdengung dan bergema, tetapi masih kerap tangan-tangan penegak hukum itu dijadikan sebagai penyambung cita dan asa dalam pencapaian deal-deal kesepakatan yang ada.

Jika bertitik tolak pada satu pendapat salah seorang pakar pidana Yahya Harahap, tujuan sistem peradilan pidana terumuskan yakni : pertama, mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan ; kedua, menyelesaikan kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakan dan yang bersalah dipidana ; dan ketiga, berusaha agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi perbuatannya.

Nah kembali kepada hakekat upaya Diversi atau Restoratif yang meliputi pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku. Pemulihan hubungan ini bisa didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban dan pelaku. Dengan menitik tekankan pada kepentingan bagi si anak melalui penghindaran yakni :

“Agar anak tidak masuk dalam tahanan, cap/label anak sebagai penjahat, untuk mencegah pengulangan tindak pidana yang yang dilakukan oleh anak, agar anak bertanggung jawab atas perbuatannya, untuk melakukan intervensi-intervensi yang diperlukan bagi korban dan anak tanpa harus melalui proses formal, menghindari anak mengikuti proses sistem peradilan, menjauhkan anak dari pengaruh dan implikasi negatif dari proses peradilan.

Kembali kepada tatanan ideal dari tujuan diversi menjadi bentuk restoratif justice jika anak mampu didorong untuk bertanggung jawab atas perbuatannya, memberikan kesempatan bagi anak untuk mengganti kesalahan yang dilakukan dengan berbuat kebaikan bagi si korban, memberikan kesempatan bagi si korban untuk ikut serta dalam proses, memberikan kesempatan bagi anak untuk dapat mempertahankan hubungan dengan keluarga, memberikan kesempatan bagi rekonsiliasi dan penyembuhan dalam masyarakat yang dirugikan oleh tindak pidana.

Merujuk kepada tujuan hukum yakni “keadilan, kemanfaatan, dan kepastian”. Berkaca pada opini yang berkembang saat ini, dari sisi sosiologis begitu banyak pemahaman yang meng-amani bahwa hukum itu seolah-olah berlaku hanya bagi masyarakat kecil semata. Hukum ibarat mata pisau yang tumpul ke atas dan tajam kebawah. Pembaharuan paradigma dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum merupakan satu langkah maju bagaimana pranata social yakni masyarakat dilibatkan dalam menjalankan fungsi hukum tersebut. Hukum dalam hal ini sebagai “tool of social control”.

Fungsi hukum dalam pembaharuan ini sebagai alat pengendalian social guna menetapkan tingkah laku mana yang dianggap menyimpang terhadap aturan hukum, dan apa sanksi atau tindakan yang dilakukan oleh hukum jika terjadi penyimpangan. Kembali kepada filosofi tujuan hukum agar hukum tersebut berfungsi guna memberikan lintas ketertiban dari pengendalian pranata social. Mari kita rujuk acuan pemenuahan satu unsur kesalahan atau satu pelanggaran bisa dikategorikan apabila “sengaja, lalai (alpa) dan dapat dipertanggung jawabkan”. Pemenuhan unsur hanya melihat hitam-putih atau benar salah. Artinya bagi setiap orang yang melakukan perbuatan “sengaja, atau lalai atau mampu bertanggung jawab” pemenuhan akan dikembalikan kepada teori tujuan hukum sendiri.

Kategori anak yang berhadapan dengan hukum, dalam ranah Sistem peradilan pidana anak jelas bagaimana menciptakan setiap elemen memiliki tanggung jawab mutlak dalam jaminan kesejahteraan anak serta mampu memberikan perlindungan khusus kepada anak yang telah memenuhi prasyarat unsur pelanggaran atau kesalahan diatas. Mari kita kembali dalam situasi paradigma perkembangan kemajuan yang cukup pesat ini. Arus informasi dan juga kemajuan tekhnologi ibarat ambang batas dalam merubah situasi dan kemampuan cara berpikir setiap orang termasuk anak. Beban tanggung jawab orang tua dalam hal pola merubah sikap prilaku anak cendrung salah kaprah, dan bahkan terkadang lepas control terhadap wujud pengendalian rasa sayang dan perlindungannya terhadap sang anak.

Sebut saja si A, yang telah melakukan perbuatan pelanggaran susila. Antara korban dan pelaku yang masih dalam tahap kategori anak kebetulan sesama jenis, upaya untuk melakukan diversi berujung kepada pengantian ganti rugi yang dalam hitung-hitungan materi yang fantastis. Demikian juga halnya dari beberpa bentuk upaya pencarian solusi dibebeberapa pelanggaran hukum antar sesama anak, yang adakalanya ketika salah satu antara pelaku atau korban memiliki perbedaan status social yang berbeda akan cendrung menjadi satu fenomena konflik social baru dalam pencarian solusi dalam menwujudkan rekonsiliasi.

Jikalaulah inti dari permasalahan pelanggaran akan diwujudkan dalam hal rekonsiliasi ganti rugi antara korban dan pelaku dan selanjutnya tanpa mempertimbangkan lingkungan dan pranata social yang perlahan-lahan memang telah hampir redup, akankah semakin rapuh dengan pola penciptaan dalam mewujudkan anak dalam mempertanggung jawabkan perbuatannya tidak perlu diperbaiki. Yang padahal konsep kasus susila yang cukup tinggi, lebih berkaca kepada diversi supaya anak tidak dimasukkan dalam penjara, serta merta hanya berujung kepada pengembalian kepada keluarga, tanpa melihat sanksi social dalam wujud perbaikan prilakunya untuk dsembuhkan.

Menyongsong Agustus 2014 yang telah diambang pintu, seandainya media social dalam konteks “lembaga penyelenggara kesejahteraan social atau lembaga penempatan anak sementara” belum jelas wujud dan model guna mencapai konsep cita-cita semangat dalam melahirkan wujud anak sebagai manusia yang utuh, mandiri dan bertanggung jawab, wujud kebijakan yang baru lahir ini akan dapat berubah sebagai media dalam solusi transaksi dalam pencapaian kata mufakat dan sepakat. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline