Lihat ke Halaman Asli

Jalan Panjang di Kasus Perbudakan Warga NTT, Mohar, Cs Kebal Hukum

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setahun sudah peristiwa perbudakan yang menimpa 20 korban warga NTT di kota Medan. Medan merupakan surga bagi para pelaku perbudakan tindak pidana perdagangan orang, mengalami kesulitan dalam proses pembuktian ditataran Polresta Medan untuk memenuhi tugas dan tanggung jawabnya dalam menjerat Mohar dan istrinya. Tersangka perbudakan yang telah mengakibatkan 2 orang tewas dan 1 lumpuh layu dan lainya dihisap tenaga dan diperbudak tanpa diberi gaji sampai saat ini masih bebas berkeliaran bagai bak kebal hukum.

Sebelumnya di 23 Februari 2014 ia pernah di persangkakan oleh Polresta Medan sebagai pelaku utama, sebagai dalang perbudakan yang tercatat dalam LP No. 114/II/2014/SPKT Resta Medan, mengalami kendala dalam proses kelengkapan berkas. Seolah-olah peristiwa yang menimpa 20 orang warga Nusa Tenggara Timur tersebut, bukan merupakan satu peristiwa yang menarik perhatian lagi. Hal itu kami yakini saat pertemuan dalam Rapat Dengar Pendapat di Komisi A DPRD Provsu, tertanggal 10 februari 2015. Sang Kasat Reskrim terkesan menyatakan bahwa kasus Mohar ibarat benda busuk yang sudah rusak dan sangat sulit untuk diperbaiki lagi. Seacara kasat mata dan pendengaran makna yang disampaikan Kepala Sat Reskrimum Polresta Medan (ic. Wahyu Bram) mengisaratkan barang atau benda tersebut layak di padamkan als dipeti eskan tanpa kejelasan status hukum yang tegas di penyidikan.

Jika ditilik jangka waktu pemberkasan tertanggal 23 Februari 2015 nanti, berkas akan memasuki usia 1 tahun proses penyidikan. Satu prosedural yang cukup lama dan unik dalam penyempurnaan pemberkasan atas tersangka tanpa peningkatan atau perubahan status sesorang kepada yang lebih baik (terpidana atau pembatalan tersangka). Alat uji keseriusan penegak hukum oleh jajaran Polresta Medan bisa diukur dari sejauh mana kemaksimalan dan kemauan dalam melengkapi dan memenuhi unsur yang dipersangkakan.

Walaupun akhir tahun 2014 terhadap peristiwa Jl. Beo pihak Polresta Medan bersedia menunjukan tanggung jawabnya dengan kemaksimalan pemberkasan dan juga penetapan terhadap 7 (tujuh) tersangka. Namun keseriusan tersebut masih patut dipertanyakan, dengan kelalaian-kelalaian atas laporan-laporan tindak pidana yang sebelumnya telah dipersangkakan kepada Tersangka Syamsul yakni di tahun 2012 dan juga Juni 2014 yang pernah masuk dalam ranah pengaduan di Polresta Medan. Andai Polresta Medan cukup serius di tahun 2012 atau Juni 2014, mungkin alm Cici atau Hermin tidak akan sampai meregang nyawa di Desa Barus Jahe.

Terhadap tersangka Mohar sendiri, masih ada beberapa tersangka lainnya yang ikut andil dalam melanggengkan perbudakan sarang wallet yang belum tersentuh, bahkan diabaikan oleh Polresta Medan. Diasmping sang Kasat Reskrim Lama (ic. Jean Celvin) yang menyatakan masih diperlukan berita acara lanjutan, namun hingga korban kembali ke tempat asal berkas para korban masih tidak menggambarkan proses tindak pidana perdagangan orang. Bagaimana para korban bisa samapai berada di Medan, bagaimana caranya para korban berniat dan berkeinginan mau bekerja ke Medam dan untuk tujuan apa mereka dibawa ke Medan.

Akankah tanda tanya kesengajaan yang disengajakan atau karena ketidak mampuan dari pihak penyidik dalam membaca unsur pemenuhan pasal yang dipersangkakan tidak memiliki kemampuan atau pemahaman hingga peristiwa pidana perdagangan orang berubah menjadi satu peristiwa ketenaga kerjaan. Kalaulah hal itu benar maka layaklah peristiwa sarang wallet dikategorikan sebagai peristiwa perdata, yang nota bene ranah proses penyidikannya tidak menjadi tanggung jawab Polresta Medan demi hukumPolresta Medan harus berani mengelurakan SP3 bagi berkas tersebut.

Keunikan yang paling menyedihkan kembali ketika upaya diskusi dalam pemenuhan pemberkasan yang dilakukan dengan pihak penyidik dan jaksa penuntut umum, diketahui bahwa penerimaan berkas perkara pelaku baru sampai di tangan penuntut umum (Jaksa Penuntut) tertanggal 28 April 2014 yang pada halmasa penahanan tersangka habis pada tanggal 26 April 2014, dengan demikian demi hukum tersangka Mohar memang harus dikeluarkan. Dari prosedur pelimpahan berkas tersangka memang bisa diduga hak keistimewaan yang dimiliki Tersangka Mohar cukup berlebihan sehingga serta merta harus berupaya untuk dipadamkan.

Kalaulah prosedural pemberkasaan yang dilakukan diatas sedemikian adanya amat sungguh disesalkan ketidakseriusan Kepolisian dalam memfasilitasi pemenuhan keadilan yang nota bene memperlemah penegakan hukum dalam pemanfaatan UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang telah di tuduhkan. Meskipun secara kasat mata fungsi koordinasi sudahlah tepat bisa dilakukan guna meminta bantuan pihak Polda Nusa Tenggara Timur, yang lebih dahulu menyelesaikan tanggung jawabnya dalam menjerat penyalur para korban kepada Mohar.

Keinginan dan niat baik Komisi A DPRD Provinsu Sumatera Utara sudahlah tepat, untuk menagih komitmen mereka kepada Polda Sumatera Utara, sebagai dasar acuan untuk memperjuangkan mata anggaran dalam PAPBD di 2015 pada Anggaran Provsu guna penuntasan pemberkasan Mohar Cs, sehingga tidak ada lagi alasan pihak Polresta Medan menyatakan pembiayaan untuk kasus sarang wallet telah memenuhi kemaksimalan anggaran Rp. 25.000.000,- Meskipun diketahui pemenuhan kelengkapan berkas kasus diawal, sang juru periksa Polresta Medan yang berangkat ke Kupang untuk mengambil keterangan penyalur (ic. Rebeca Oledoh) yang saat itu masih berstatus tahanan Polda NTT tidak maksimal dantidak mampu memenuhi kelengkapan peristiwa pidana yang dituduhkan sebagai mana Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2007 tentang P TPPO (Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang).

Harapan terbesar bagi pengamat kemanusiaan, pertama semoga pemberkasan sebagaimana disebutkan Polresta Medan benar masih dalam tahap peyidikan dan penyelidikan dan tidak sebatas fatamorgana penyejuk dahaga yang usang. Kedua rasa sesak pemeberian labelitas bahwa Medan sebagai tempat pembantain karena itu dan kami tidak rela ketidak mauan oknum bisa mematikan kepedulian orang yang berniat membantu. Ketiga masih besar harapan kami Polresta Medan bisa menunjukan jati dirinya dalam memulihkan kepercayaan kami atas fungsi penegakan hukum dalam memfasilitasi keadilan bagi para korban tindak pidana perdagangan orang. Semoga.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline