Kita semua tahu, membeli barang, atau kesenangan adalah hal yang biasa. Tetapi, bagaimana dengan membeli dosa?
Selama ada uang, maka hampir semua bisa dibeli, semahal apa pun itu. Termasuk membeli dosa. Gaya hidup hedonisme sudah semakin mendarah daging. Segala cara ditempuh untuk menjadi kaya, agar mampu membeli kehormatan sebagai pelengkapnya.
Lihat bagaimana riuhnya beragam media sosial yang bertebaran, dan hampir dimiliki oleh setiap orang dengan beragam kepentingan. Dari menebar kebaikan, hingga menebar kebohongan. Semua berinteraksi, baik dengan yang dikenal ataupun tidak. Lucunya, hanya dengan melihat gambar, dan membaca tentang kehidupan seseorang, tanpa mengenalnya secara langsung, sudah banyak yang berani menjadi hakim-hakim tanpa bersekolah.
Banyak yang menilai Facebook sebagai ajang curhat. Instagram, dikenal sebagai ajang pamer. Quora, dikenal sebagai ajang beradu kepintaran. Pada Twitter, dikenal sebagai ajang perseteruan cebong dan kadrun. Dan entah apalagi.
Belum lagi beragam platform menulis yang tak kalah serunya. Adanya kanal You tube, Siniar yang menjamur dengan segala konten, dan semakin meriah dengan hadirnya siaran film yang bertebaran dan bisa ditonton kapan saja selama ada internet.
Sungguh luar biasa ramainya dunia ini. Bahkan saat pandemi berlangsung, dan lockdown diberlakukan. Tak terlihat surut keramaian itu, selain keramaian jalanan dan tempat-tempat umum.
Segala hal pribadi yang harusnya ditutup, sekarang seolah tak berpintu lagi. Bahkan pagar sudah terbuka sendiri. Bagai hidup di akuarium yang berkaca jernih. Hal terkecil pun terlihat, sekalipun sudah mencoba bersembunyi di balik batu atau rimbunan pohon.
Semua orang merasa punya hak untuk berekspresi tanpa batas. Tanpa peduli lagi rasa malu, tanpa risi juga membuka aib siapa saja yang berseberangan, bahkan melontar fitnah hanya bermodal kebencian.
Betapa sulitnya menemukan ketulusan saat ini.