Lihat ke Halaman Asli

Rina R. Ridwan

Ibu yang suka menulis

Televisi, Riwayatmu Kini

Diperbarui: 24 Agustus 2020   14:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pict from Unsplash

Hari ini  58 tahun usia televisi Republik Indonesia. Bagian dari sejarah yang tak terbantahkan. Menemani hari-hari rakyat Indonesia tanpa henti.

Dahulu, menjadi primadona karena berdiri tegak sendiri. Belum ada televisi swasta, apalagi yang berbayar. Belum digempur tontonan streaming yang sekarang menjamur. Ada anchor Anita Rachman, Toety Aditama, Sambas, Rusdi Saleh menjadi bintang yang tak terlupakan sebelum era Desy Anwar, Helmy Yohannes, Dana Iswara sampai Najwa Shihab bersinar.

Tontonan sederhana bertajuk fragmen dengan sajian yang masih mengedepankan tuntunan. Ada keluarga Marlia Hardi yang rajin menyapa, ada pula dunia dalam berita yang selalu dinanti. Belum lagi pelajaran Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris bersama Yus Badudu dan Anton Hilman. Bertabur pula tausiah rutin di malam Jumat bersama Buya HAMKA, juga Tuti Alawiyah. Tak terlupakan.

Berita hanya dari satu sumber yang dipercaya dan tepercaya lewat layar kaca. Kearifan lokal terjaga, lewat beragam tayangan seperti ketoprak tanpa label humor. Mengenali tokoh Minak Jinggo dan lainnya. Bersanding dengan film serial yang terus di buat ulang. Hawai Five-0, Mission Impossible, Kojak, The Saint, dan lainnya.

Lalu di akhir tahun delapan puluhan, mulailah muncul televisi swasta bernama RCTI. Bukan lagi drama atau fragmen yang muncul, berganti nama menjadi sinetron. Lalu serial asing yang tak kalah memikat mengakrabi. Dari Mac Gyver yang masih dibintangi Richard Dean Anderson hingga yang lain tayang di waktu utamanya.

Terus bertumbuh beragam stasiun televisi baru. Yang mengusung berita sebagai spesialisasi, pendidikan, hingga saluran olahraga. Menggeliat menggoda pemirsa TVRI yang masih bergelut di tempat yang sama. Iklan menjadi pembeda, membuat TVRI mulai ditinggalkan pemirsa.

Ketika Helmy Yahya mulai membenahi kembali, sedikit harapan terlihat. Tetapi sayang, banjirnya media sosial, televisi berbayar dan saluran streaming masih menjadi pilihan para pemirsa menengah ke atas. Acara yang membosankan, serial lawas, tak banyak menghasilkan kembalinya pemirsa. Kuis lama diperbaharui, pun tak menolong banyak.

Tuntunan pun menjadi kabur, terlebih sinetron banyak dibuat tanpa keseriusan dan hanya bertabur wajah rupawan. Hantaman drama Korea, buyarkan pemirsa utama. Bukan hanya TVRI yang ditinggalkan, juga stasiun swasta lainnya yang semakin tak jelas programnya.

Dari saluran cekakakan tiada henti, hingga saluran klenik dipamerkan tanpa risi. Entah bagaimana rating menjadi tujuan, tanpa peduli tontonannya menjadi tuntunan ataukah sebaliknya. Berisiklah negeri ini, bukan hanya dengan pembicaraan tanpa arti, juga hedonisme semakin menjadi yang dipertontonkan lewat sinetron sepanjang hari. Tak lagi terlihat budaya malu apalagi ketimuran.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline