Lihat ke Halaman Asli

Rina R. Ridwan

Ibu yang suka menulis

Kemarahan

Diperbarui: 12 Februari 2020   09:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pict from Andre Hunter (Unsplash)

Kemarin, terjadi kehebohan dengan kejadian saling melempar kursi pada sebuah konggres yang isinya kaum terpelajar.

Membuat saya teringat kalimat dari Robert Green Ingersoll,"Amarah adalah angin yang memadamkan cahaya lentera yang menerangi pikiran."

Jadi kemarahan memang bisa menyulut siapa saja, baik yang terpelajar, ataupun tidak.

Bukan hal yang mengherankan sebenarnya, karena dalam beberapa tahun terakhir ini, kemarahan sudah jadi bagian keseharian negeri ini.

Kemarahan, yang berasal dari kata marah, adalah suatu emosi yang secara fisik mengakibatkan antara lain peningkatan denyut jantung, tekanan darah, serta tingkat adrenalin dan noradrenalin. Kemarahan juga dapat memobilisasi kemampuan psikologis untuk tindakan korektif.

Mengapa kemarahan sekarang makin mudah tersulut?

Sebagaimana kita ketahui, sejak beberapa tahun terakhir ini, tercipta dua kubu dengan julukan masing-masing, yang hampir setiap hari membuat gaduh. Dua kubu ini dipenuhi dengan manusia dengan beraneka latar belakang pendidikan.  Jika diamati, kedua kubu ini sama-sama meluahkan kemarahan. Yang satu marah dengan situasi yang tidak sesuai dengan yang dijanjikan, yang satu marah karena alasan yang lain.

Kritik, saran atau apa pun namanya, berujung dengan tersulutnya kemarahan demi kemarahan. Hingga akhirnya kata kritik dan saran diserupakan dengan sebuah kenyinyiran.

Masyarakat lain, juga semakin banyak yang mudah marah, karena semakin sulitnya kehidupan. Banyaknya korupsi yang dibiarkan, dan jadi tontonan semata. Yang jujur menjadi hancur, yang curang dinaikkan dan didukung, karena melakukannya beramai-ramai.

Harga kebutuhan pokok yang semakin mencekik, bahkan untuk berobat pun, iuran terus dinaikkan karena salah kelola. Yang tak bersalah dibebankan untuk membayarnya, sementara yang bersalah dibiarkan untuk terus mengisi penuh pundi-pundinya untuk bisa menghilang, atau kabur ke luar negeri. Subsidi untuk rakyat terus dicabut, sementara untuk yang lain malah diberikan begitu besar.

Beberapa pakar mendefinisikan marah, sebagai emosi yang muncul karena adanya persepsi ketidak adilan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline