Lihat ke Halaman Asli

Rina R. Ridwan

Ibu yang suka menulis

Bahkan Anakmu Bukanlah Milikmu

Diperbarui: 1 Februari 2020   12:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pict from Unsplash

Hari-hari ini, bagi remaja yang duduk di kelas akhir sekolah menengah atas adalah hari-hari yang sibuk. Bukan hanya mereka, sebagian orang tua juga ikut sibuk, plus ikut tegang, stress dan lainnya memikirkan masa depan bagi anak-anaknya menyangkut soal kelanjutan pendidikan mereka. Kebanyakan, para remaja ini sudah banyak diikutkan bimbingan belajar sebagai usaha untuk mampu menembus perguruan tinggi negeri atau favorit.

Saat pengambilan rapor Desember lalu, wajah-wajah tegang mereka menghiasi ruang kelas saat hendak dibagikan wali kelas. Yang mereka tahu nilai haruslah tinggi agar dilirik, atau jika bisa mendapat undangan untuk masuk ke perguruan tinggi favorit nantinya. Ibaratnya mereka bagai orang yang menunggu keputusan pengadilan untuk sebuah hukuman.

Bersyukurnya saya yang dari dulu tak pernah pusing dengan nilai rapor anak-anak, walau punya harapan yang sama dengan orang tua lainnya. Mengapa? Karena orang tua saya dulu juga bersikap seperti itu. Mereka percaya pada kemampuan anaknya masing-masing, juga percaya pada apa yang nanti jadi kehendakNya. Banyak hal di dunia ini yang tak selalu sama dengan perhitungan manusia. Kami dihargai sebagai manusia, bukan sebagai barang.

Saat keluar ruangan, sesudah menerima rapor, saya belum ingin membukanya, bahkan sudah diambil anak saya dan menikmati selasar sekolah yang adem. Di samping saya, seorang gadis menghampiri ayahnya yang sedang sibuk melihat angka dan huruf di rapor. Tak lama kemudian sang ayah sedikit keras berkata pada putrinya,"Apa ini? kok malah turun nilainya?!"

Sang putri langsung ikut memperhatikan. Ada wajah kecewa, entah karena nilainya, ataukah teguran sang ayah. Dia terlihat murung seketika, dan mengiringi langkah ayahnya dengan lesu.

Melanjutkan jalan, seorang ibu menanyakan Indeks Prestasi Kumulatif rapor anak saya untuk membandingkan dengan anaknya. Beruntung, rapor sudah diambil, hingga hanya menjawab,"Saya belum lihat, Bu. Sudah diambil anak saya."

Di depan pintu keluar, ibu yang sama terus menanyakan ibu-ibu lain tentang IPK anak-anak mereka dengan wajah rusuh. Saya memutuskan untuk pulang.

Hari-hari menjelang ujian nasional bulan depan, anak saya bercerita tentang teman-temannya yang berhasil masuk pemeringkatan 40% dan bagaimana cerita dibaliknya. Bagaimana yang tidak masuk harus bersiap untuk berjuang lebih keras. 

Bagaimana yang masuk peringkat tersebut, penuh optimisme akan mampu melaju dan masuk PTN yang diinginkan. Juga bagaimana yang walau masuk daftar yang 'menjanjikan' itu tak bahagia karena hanya memenuhi tuntutan orang tuanya, bukan keinginannya sendiri.

Seorang gadis yang ingin kuliah di Universitas negeri di Jogja, namun tak diizinkan karena jauh dari rumah. Juga karena dia anak bungsu, dan orang tuanya tak mau ditinggal hidup sendiri. Gadis itu meratap di media sosialnya. Cukup memilukan, karena dia merasa sudah jadi anak patuh sepanjang hidupnya, namun saat ingin meraih cita-citanya sendiri, dihambat begitu saja.

Sebuah kalimat yang paling menyesakkan tertulis di sana," ... harusnya aku sudah jadi pemberontak sejak dulu."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline