Jika kita mau menunduk sedikit saja, kebaikan itu punya cahaya, begitupun dengan yang namanya kebenaran. Cahayanya berpendar, tidak panas menyengat ataupun menyilaukan, namun memberi kehangatan yang dibutuhkan hati kita, terutama di bagian yang terdalam yang disebut hati kecil.
Bukan soal besar atau kecilnya kebaikan yang ada, karena kebaikan tak punya ukuran, tak butuh perhitungan. Dan kebaikan menyertai hati yang 'percaya', hati yang punya cahaya.
Begitupun dengan kebenaran, tak akan pernah bisa bersatu dengan kebohongan, apalagi kebathilan. Kebenaran mempunyai sinar yang mampu menembus apapun yang merintanginya. Sementara kebohongan, dusta dan kebatilan punya noda yang mudah sekali luntur.
Mencari kebenaran butuh hati yang bersih. Yang sebenarnya dimiliki setiap orang yang jujur dan berani menyuarakan kejujurannnya. Sementara di sekitar kita, banyak orang jujur, namun tak punya keberanian untuk menyuarakan kebenaran. Keberanian untuk jujur adalah sesuatu yang tak dimiliki para pendusta.
Hari-hari ini begitu banyak yang berani berdusta hanya untuk menumpuk sesuatu yang akan ditinggal mati. Harta, jabatan dan kehormatan duniawi yang hanya sementara. Harta yang berlimpah yang didapat dengan cara dzalim, hanya akan habis dengan cara yang sama. Yang dipakai untuk menyuap, sebanyak apapun itu, tak akan mampu menyuap malaikat kubur yang akan menanyainya nanti tiga langkah usai para pelayat meninggalkannya.
Jabatan setinggi apapun, tak akan ada dalam pertanyaan malaikat di kubur nanti, tak akan mampu menjadi kebanggaan atau dikenal, sebaik amal baik yang lebih dikenali para penduduk langit. Bahkan kehormatan melimpah yang dia banggakan, sebagai very important person juga tak berdampak apapun akan siksa yang pasti diterima bila dia hanya sibuk dengan dunia yang memang melenakan manusia dengan kefanaannya.
Kebenaran sering dibungkam. Baik sendiri, ataupun bersama kelompoknya, para manusia penakut terus menutup dan membungkam dengan 'noda-noda'yang mereka kira bisa menolongnya. Yang tak banyak disadari mereka adalah bahwa kapanpun maut bisa membungkam mereka bersama noda kotor yang menyertai diri mereka sendiri. Saat itu, sudah tak lagi ada yang mampu menolong atau waktu untuk bersihkan dirinya.
Fanatisme dan pamrih merajalela hanya karena ketidak yakinan dan ke tidak percayaan, bahwa diri sendiri punya kemampuan mengubah dan membuat nasibnya jauh lebih baik dari sekedar berharap pada manusia lain. Fanatisme itu membutakan mata dan hati nurani. Menganggap sempurna pada yang dia ikuti, sementara segala kritik dan saran tak lagi mampu didengar, apalagi mau melihatnya. Mereka lupa pada pijakannya sendiri. Lupa pada tujuan akhir kehidupannya.
Pamrih punya baju terindah lewat bibir yang suka memuja dan memuji sesuatu yang tak ada bersama yang dia puja. Pamrih punya aksesoris terindah lewat kebohongan yang terus didengungkan hingga terlihat sebagai 'pembenaran', bukan kebenaran.
Sudah sunnatullah bahwa manusia di'bekali' dengan ketakutan-ketakutan dalam perjalanan hidupnya yang singkat. Takut akan kesendirian, takut akan kemiskinan, takut diabaikan, takut lapar, takut kehilangan dan ribuan ketakutan lainnya. Namun hanya sedikit yang menyadarinya.
Hidup bukanlah sekedar hidup hanya dengan bersibuk memenuhi nafsunya saja. Ada banyak hal baik yang butuh perjuangan untuk dilihat, diperhatikan juga untuk dijadikan sebagai tujuan mencapai yang terbaik bagi dunia dan akhirnya nanti.