Menjadi ibu ketika berusia 22 tahun dan mengasuh sendiri bayi pertama dengan ijazah sarjana tersimpan rapi di lemari itu sama sekali bukan cita-cita saya. Walaupun tidak pula rela saya katakan "kalau saya terpaksa", karena bayi mungil kami adalah wujud nyata doa yang dikabulkan Allah SWT. Meskipun ... ya harus diakui, saya sedikit kelabakan pada mulanya. Ya, pada mulanya.
Sebagai Generasi X yang lahir dari keluarga berpendidikan cukup, sejak kecil saya memang sudah disiapkan menjadi sarjana agar kelak mampu menjawab tantangan kerja profesional, sekaligus menambah nilai lebih perempuan yang, kata Ibu, wajib bisa semuanya!
Saya dilatih untuk pandai melipat pakaian, masak dan keterampilan tangan, tapi ... sayangnya saya tidak pernah sekalipun dilatih untuk siap menjadi ibu. Ya, ibu pada masanya.
Ketika mulai jatuh cinta hingga akhirnya memutuskan menikah pada usia muda, saya hanya memahami bahwa setelah menikah kita harus mandiri dan kelak ketika lahir anak-anak dalam pernikahan ini tugas orang tua untuk membesarkannya.
Kala itu saya membayangkan keluarga kecil seperti di film drama bahagia, suami bekerja pagi sampai sore, istri merawat anak dan membereskan rumah, lalu berkumpul bersama di ruang keluarga ketika malam tiba.
Ternyata kenyataannya sama sekali tidak semudah bayangan film atau sinetron keluarga bahagia tersebut. Menjadi perempuan Generasi X dengan pergaulan dan pendidikan yang cukup serta tuntutan zaman tentang perempuan dan karya kadang-kadang menyiksa batin saya juga. Sungguh, baik secara fisik maupun mental, tak sekalipun saya pernah dilatih untuk siap menghadapi situasi seperti ini.
Pun ketika akhirnya jalan takdir membuat saya justru menjadi ibu yang cukup produktif dalam fungsi reproduksi (melahirkan tiga anak dalam waktu kurang dari 5 tahun), membuat impian tentang perempuan dan karya sepertinya semakin berlari kencang meninggalkan, sementara di waktu bersamaan saya merasa tidak punya cukup energi untuk mengejarnya, hingga ... akhirnya saya berhasil memutuskan untuk mengusirnya agar perasaan itu benar-benar hilang hingga tak lagi saya dengar suaranya!
Bismillah. Saya kemudian merelakan takdir bekerja: saya pun menjadi ibu yang merawat sendiri anak-anaknya, mendekap mereka erat dengan segenap jiwa dan raga.
Dengan lapang dada saya undang energi baru untuk datang dan mendorong, mendesak bahkan memaksa untuk kembali belajar, kali ini bukan untuk menjadi perempuan dengan karya melainkan belajar menjadi ibu yang mampu menjawab tantangan pengasuhan masa terkini.
Saya membaca banyak sekali artikel tentang bagaimana menjadi ibu yang baik. Saya mengamati sekeliling dan melihat mereka yang anak-anaknya sudah dewasa dan tampak berhasil mendidik semuanya.
Saya juga menganalisis dan mencari tahu kira-kira seperti apa pola asuhnya ketika kecil, bahkan pola asuh kedua orangtua (hingga mertuanya pun tak luput dari pengamatan). Sampai akhirnya saya putuskan untuk mengadopsi yang menurut saya baik dan cocok. Ya, saya tak bisa mengambil semuanya begitu saja sebab dan saya yakin tiap anak itu unik dan spesial.