Onang-onang adalah seni musik tradisional Angkola Mandailing yang setiap bait syairnya selalu dimulai dengan kata onang biasanya dimainkan dalam acara atau pesta adat (Kamus Angkola Mandailing, Ed. II, 2016: 170). Ende (lagu) onang-onang dilantunkan dengan suara khas dan nada yang khas diiringi dengan lantunan musik tradisional. Orang yang melantunkan onang-onang disebut par onang-onang atau panggora dan di Mandailing disebut panjeir.
Belum ada catatan yang pasti kapan tadisi ini mulai dan menjadi tradisi pada etnis Angkola Mandailing. Dalam berbagai literatur yang ada, disebutkan bahwa onang-onang awalnya berasal dari kata 'inang' yang berarti 'ibu'. Dalam kisahnya dikatakan bahwa ada seorang anak yang merindukan ibunya dan akhirnya memanggil sambil bernyanyi dengan mengatakan "Onangonang".
Onang-onang merupakan suatu ekspresi kerinduan kepada orang yang dikasihinya yaitu ibunya. Seiring berjalannya waktu onang-onang mulai berkembang. Tidak saja sebagai ungkapan kekecewaan dan kerinduan terhadap orang yang dikasihinya tetapi sekarang sudah berubah fungsi sebagai ungkapan kasih (kegembiraan) yang disampaikan sebagai rasa syukur atas tercapainya sesuatu hajat seperti memiliki rumah baru, perkawinan, dan kelahiran (Harahap, 1987:66; Ritonga dan Ridwan, 2002:65; Daulay, 2014: 150).
Abu Tohar Simanjuntak (73)[1] menyampaikan bahwa onang-onang ditampilkan terbatas pada kegiatan adat yang sifatnya merayakan/ syukuran kebahagiaan. Seperti pernikahan, kelahiran anak dan memasuki rumah baru. Belakangan ini, terjadi perubahan pelaksanaan onang-onang hanya ditampilkan ditampilkan dalam pesta perkawinan horja godang atau adat nagodang kadang disebut pula margondang. Sedangkan dalam acara adat lainnya seperti memasuki rumah baru, kelahiran anak dan lainnya onang-onang sudah jarang ditampilkan. Dalam acara horja godang pesta pernikahan onang-onang tidak hanya berfungsi sebagai hiburan atau pelengkap pada acara pernikahan akan tetapi onang-onang menjadi bagian dari rangkaian dari upacara adat itu sendiri (Daulay, 2014:150).
Onang-onang menjadi ende/ lagu pengiring tari tor-tor yang dilaksanakan secara berurutan. Tor-tor adalah salah satu tradisi adat yang dianggap sakral oleh masyarakat etnis Angkola Mandailing. Tari tor-tor atau kegiatan manortor merupakan salah satu kegiatan utama dalam upacara Horja Godang (Erlinda dan Hasibuan, 2024: 8825). Rangkaian pelaksanaan tortor berkaitan dengan sistem kemasyarakatan dan sistem kekerabatan etnis Angkola Mandailing. Berdasarkan kelompoknya terdapat struktur penyajian tor-tor yang dibagi dalam beberapa rangkaian.
Terdapat tujuh urutan pelaksanaan tari tortor meliputi: (1) Tor-tor pemilik acara atau suhut bolon, (2) Tor-tor saudara laki-laki atau semarga biasanya disebut kahanggi, (3) Tor-tor saudari perempuan atau anak boru (kelompok keluarga yang mengambil istri), (4) Tor-tor Raja-raja torbing balok (raja-raja adat dari kampung yang berdekatan), (5) Tor-tor Raja Panusunan Bulung (Raja utama suatu wilayah yang paling tinggi posisinya), (6) Tor-tor Naposo Nauli Bulung (Muda Mudi), dan (7) Tor-tor Namora Pule (Pengantin).
[1] Abu Tohar Simanjuntak merupakan salah satu tokoh adat dari etnis Angkola di Tapanuli Selatan. Wancara pada tanggal 04 April 2024.
Sumber:
Daulay, Ismail Rahmad. "Educative values in the lyric of onang-onang songs in the wedding ceremony of Batak Angkola, South Tapanuli Regency, Province of North Sumatra." Komposisi: Jurnal Pendidikan Bahasa, Sastra, dan Seni, vol. 15, no. 2, 2014, hal. 148--65.
Erlinda, Rifka, dan Putri Hasibuan. Makna Tor-Tor Namora Pule dalam Upacara Horja Godang di Desa Aek Godang Kecamatan Hulu Sihapas Kabupaten Padang Lawas Utara. 2024, hal. 8823--32.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H