Lihat ke Halaman Asli

Rinaldi Syahputra Rambe

Pustakawan Perpustakaan Bank Indonesia Sibolga

Ketika Mengkritisi Dianggap Aneh di Negara Demokrasi

Diperbarui: 17 Mei 2023   08:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi ketakutan mengkritisi.  Foto: Kompas (Toto Sihono)

Sebuah cerita yang menggemparkan sosial media belakangan ini mengenai seorang guru seni bernama Husein Ali Rafsanjani (27), seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat. Video pengakuannya tentang pengalaman diintimidasi saat membongkar praktik pungutan liar telah menjadi viral. Keberanian Husein dalam mengungkapkan kebenaran ini memberikan sorotan pada praktik korupsi yang tersembunyi dalam birokrasi.

Dalam videonya yang tersebar luas, Husein menjelaskan kronologi pungutan liar yang ia alami saat mengikuti latihan dasar (latsar) sebagai ASN. Meskipun biaya kegiatan tersebut telah dianggarkan, ia dipaksa membayar uang transportasi sebesar Rp270.000. Namun, pungutan tidak berhenti di situ. Selama pelaksanaan latsar, para peserta diminta membayar kembali Rp310.000 tanpa diketahui tujuan penggunaannya. Merasa terbebani dan merasa keberatan, Husein memutuskan untuk melaporkan praktik pungli yang ia alami secara anonim melalui situs lapor.go.id yang dimiliki oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB).

Namun, konsekuensi atas tindakannya tidaklah menggembirakan. Husein dipanggil oleh Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Kabupaten Pangandaran. Di sana, ia malah dihadapkan pada ancaman akan dipecat sebagai ASN dan diintimidasi untuk mencabut laporannya. Kejadian ini menggambarkan betapa sulitnya bagi individu yang berani mengungkapkan kebenaran dalam lingkungan birokrasi yang tercemar oleh korupsi.

Kejadian yang menimpa Husein hanyalah salah satu kasus yang terbongkar ke permukaan, dan sangat mungkin masih banyak kasus serupa lainnya yang terjadi di daerah lain. Banyak korban pungutan liar yang memilih untuk menutup rapat praktik korupsi yang mereka alami, sehingga tak terekspos ke media. Teman saya sendiri pernah mengalami pengalaman serupa saat diterima menjadi ASN, di mana ia diminta membayar sejumlah uang dalam penerimaan Surat Keputusan (SK) PNS. Meskipun nominalnya mencapai jutaan rupiah, teman saya enggan untuk menyebutkan jumlah pastinya. Sayangnya, kasus yang menimpanya tidak pernah terungkap ke publik karena mereka memilih untuk merahasiakan praktik pungli yang mereka alami.

Kasus-kasus semacam ini memberikan contoh yang memprihatinkan bagi negara yang seharusnya berlandaskan prinsip demokrasi. Kebebasan berpendapat dan hak untuk menyuarakan kritik seharusnya menjadi hak asasi yang dijunjung tinggi dalam negara demokratis.

Namun, ironisnya, dalam realitasnya, kita sering melihat bahwa sikap kritis justru dianggap aneh atau bahkan dihambat dalam konteks negara demokrasi. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan yang sangat penting: Mengapa sikap kritis dianggap aneh di negara demokrasi?

Salah satu alasan utama adalah karena adanya persepsi yang salah tentang arti sebenarnya dari demokrasi itu sendiri. Meskipun demokrasi bertujuan untuk memberikan suara kepada rakyat, seringkali orang cenderung menganggap bahwa demokrasi hanya berarti memiliki kebebasan untuk setuju atau tidak setuju dengan kebijakan pemerintah. Ketika seseorang menyuarakan kritik yang tajam atau memiliki pendapat yang berbeda dengan mayoritas, seringkali hal tersebut dianggap sebagai gangguan atau bahkan dianggap aneh. Hal ini mencerminkan kurangnya pemahaman akan pentingnya perbedaan pendapat dalam proses demokrasi yang sehat.

Selain itu, dalam negara-negara demokrasi, ada kecenderungan untuk menciptakan konsensus atau kesepakatan yang melibatkan sebanyak mungkin pihak. Di sinilah sikap kritis sering dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas politik dan sosial. Pemerintah atau kelompok kepentingan tertentu mungkin merasa tidak nyaman dengan adanya suara-suara yang bertentangan dengan kebijakan yang sedang diterapkan. Akibatnya, mereka cenderung meredam atau mengabaikan peran serta pentingnya kritik sebagai bagian dari proses demokrasi yang sehat.

Selain faktor internal, pengaruh media sosial dan internet juga dapat memberikan kontribusi dalam menciptakan persepsi negatif terhadap sikap kritis. Di era di mana informasi tersebar dengan cepat dan mudah, pendapat yang berbeda sering kali dikaitkan dengan berita palsu, hoaks, atau bentuk ekstremisme. Hal ini menyebabkan individu yang menyuarakan kritik seringkali dianggap sebagai provokator atau orang yang tidak bertanggung jawab, bahkan jika kritik tersebut didasarkan pada fakta yang jelas dan didukung oleh bukti.

Namun, penting untuk menyadari bahwa sikap kritis adalah bagian yang tak terpisahkan dari demokrasi yang sehat. Kritik yang konstruktif dapat memperbaiki kebijakan pemerintah, mendorong perubahan sosial, dan memperkuat institusi-institusi demokrasi itu sendiri. Menerima kritik sebagai kontribusi berharga dalam diskusi publik dan mendengarkan pandangan yang berbeda adalah ciri utama dari negara yang benar-benar demokratis.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline