Indonesia merupakan negara paling dermawan di dunia. Menurut Indeks Kedermawanan Dunia (WGI) 2022 yang dipublikasikan Charity Aid Foundation, Indonesia menempati peringkat pertama sebagai negara paling dermawan di dunia. Pencapaian ini bukan pertama kalinya, Indonesia telah memegang rekor selama lima tahun berturut-turut sebagai negara paling dermawan.
Singkatnya, kedermawanan tidak perlu diragukan lagi. Tradisi menyumbang di negara kita telah lama tumbuh dan telah mengakar kuat di masyarakat. Faktor keyakinan dan tradisi lokal menjadi inspirasi yang mendorong untuk terus berbagi dan memberi.
Dalam keyakinan kita, telah tertanam bahwa memberi tidak harus berkecukupan. Artinya, apapun yang dimiliki tidak menjadi penghalang untuk memberi. Memberi dimulai dengan hal paling sederhana yang bisa dilakukan. Selain sikap masyarakat yang suka berbagi, kedermawanan di negara kita juga tumbuh karena pengaruh relawan filantropi. Pegiat filantropi di Indonesia sangat terstruktur dan mengakar. Bergerak dengan suka rela secara bersama melibatkan unsur masyarakat.
Selama bulan Ramadhan ini saja, saya pribadi telah dikirimi beberapa poster ajakan berbagi dari berbagai kalangan, mulai dari komunitas, organisasi masyarakat, tempat kerja, dan lingkungan sekitar. Intinya terstruktur dan massif dilakukan. Gerakan semacam ini sejatinya didasari panggilan hati, dan pantas kita apresiasi.
Namun, belakangan muncul fenomena yang mengabaikan etika dalam memberi. Saya melihat banyak gerakan berbasis kedermawanan terkadang kurang memperhatikan etika dalam memberi. Etika dalam memberi sesungguhnya tidak bisa dipisahkan, karena telah menjadi bagian dari inti kegiatan itu sendiri.
Etika kedermawanan adalah prinsip-prinsip moral yang mengatur bagaimana seseorang harus bertindak dalam memberikan dan menerima sedekah atau bantuan. Kedermawanan itu sendiri adalah sikap atau tindakan untuk memberikan sesuatu kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan atau balasan yang serupa. Etika kedermawanan menjadi penting karena tidak semua tindakan kedermawanan dapat dianggap baik jika tidak dilakukan dengan cara yang benar.
Pengabaian etika semacam ini semakin marak terlihat di tengah gempuran teknologi visual yang kian berkembang. Sehingga motivasi seseorang untuk memberi terkadang menjadi kontroversi. Karena tidak jarang kita lihat kedermawanan didasari motivasi lain, bahkan politis dan sensasional.
Sebagai bukti bagaimana belakangan ini, banyak video viral yang menunjukkan bahwa betapa kekuatan media demikian dahsyat. Konten yang titampilkan terkadang terlihat berlebihan. Misalnya seseorang memberi uang kepada orang lain dengan nominal yang besar atau barang mewah lainnya. Kemudian upload menjadi konten di paltform media sosial yang sudah terhubung dengan adsense. Tulisan ini bukan untuk menduga-duga apa yang menjadi motivasi sang konten kreator membuat konten seperti itu. Saya tidak berhak menghakimi siapapun.
Sesungguhnya yang menjadi perhatian saya adalah tercorengnya etika mulia di balik kedermawanan. Terjadi penomena over dokumentasi yang muncul di jagat maya. Sengaja atau tidak, ekspose yang terlalu berlebihan akan berakibat terabaikannya hak orang lain.