Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK) telah menerima pendaftaran permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan (PHP) Kepala Daeerah tahun 2024 sebanyak 283 permohonan. Hal tersebut tercermin dari laman resmi mereka dengan rincian, 16 permohonan untuk PHP Gubernur, 218 untuk Bupati dan 49 untuk Walikota. Jika perselisihan ini hanya mengacu kepada selisih suara perolehan tertinggi dan setelahnya sebagai syarat formil permohonan, maka sudah dapat dipastikan banyak permohonan yang akan berguguran pada tahapan pemeriksaan dismissal mendatang. Pasal 158 UU. No. 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang keseluruhannya menjelaskan hal formil sebab dapat diajukannya permohonan perselisihan oleh pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota peserta Pilkada. Setidaknya ada beberapa daerah yang mengajukan permohonan perselisihan dengan menggunakan dilatarbelakangi oleh dugaan adanya pelanggaran Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM).
Dalam website Mahkamah Konstitusi diberitakan, Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Takalar Tahun 2024 Syamsari dan Natsir Ibrahim mengajukan permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Bupati Takalar Tahun 2024 (PHP Bupati 2024) ke Mahkamah Konstitusi (MK), Jumat (6/12/2024). Permohonan tersebut diajukan Ratno Timur selaku Tim Kuasa Hukum yang menuding paslon nomor urut 1 Mohammad Firdaus Daeng Manye dan Hengky Yasin melakukan berbagai kecurangan secara Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM) selama proses pemilihan yakni keterlibatan kepala desa dalam mendukung paslon tertentu. Diketahui dari laman resmi tersebut bahwa, hasil rekapitulasi perolehan suara KPU Takalar, Paslon Nomor Urut 1 Mohammad Firdaus Daeng Manye dan Hengky Yasin meraih 111.290 suara atau 70,77%. Sementara, Paslon Nomor Urut 2 Syamsari dan Natsir Ibrahim meraih 45.977 suara atau 29,23% suara.
Selain itu, masih pada laman yang sama, permohonan PHP Bupati yang diajukan oleh Pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Minahasa Susi Fiane Sigar dan Perly George Steven Pandeiroot juga diajukan ke MK. Melalui tim kuasa hukumnya yang diwakili Lefrando Sumual, mengungkapkan pencalonan petahana telah cacat formil karena merupakan anggota dewan terpilih. Dituliskan, hasil rekapitulasi perolehan suara KPU Minahasa, Paslon Nomor Urut 1 Susi Sigar dan Perly Pandeiroot memperoleh 41.136 suara, Paslon Nomor Urut 2, Youla Lariwa dan Denny Kalangi memperoleh 53.001 suara. Sementara, Paslon Nomor Urut 3 Robby Dondokambey dan Vanda Sarundajang mendapatkan 93.546 suara.
Begitu juga dengan permohonan PHP kepala daerah kota Pekanbaru diajukan dengan beberapa dugaan pelanggaran dilakukan secara Terstruktur, Sistemasis dan Massif (TSM). Jika dilihat dari hasil perolehan suara, berdasarkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) kota Pekanbaru nomor 864 tahun 2024, bahwa Pasanangan Calon nomor urut 1 Muflihun, S.STP., M.AP., dan Ade Hartati, M.Pd., memperoleh suara sebanyak 72.475, Nomor urut 2 Palson Dr. Intsiawati Ayus, S.H., M.H., dan Dr. Taufik Arrakhman, S.H., M.H., memperoleh suara sebanyak 17.811, Paslon Nomor urut 3 Ida Yulita Susanti, S.H., dan Kharisman Risanda sebanyak 42.001 suara, Paslon nomor urut 4 H. Edy Nasution, S.IP., dan Drs. Dastrayani Bibra, M.Si., dengan 56.159 suara, dan Paslon nomor urut 5, H. Agung Nugroho, S.E., M.M., dan H. Markarius Anwar, S.T., M.Arch., dengan 164.041 suara. artinya, ada selisih sekitar 91.776 suara antara pemuncak dengan paslon yang memperoleh suara setelahnya.
Jika Mahkamah Agung kemudian menjadikan pasal 158 saja tanpa pertimbangan lain sebagai putusan saat setelah dismissal, maka sudah dapat dipastikan, nasib gugatan selisih suara yang melebih batas sebagaimana diatur pasal 158 kandas. Sebagaimana yang pernah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi tahun 2016 silam, dimana MK saat itu menyatakan 26 permohonan sengketa Pilkada tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard/NO). Dalam putusannya, Mahkamah beralasan 26 permohonan ini dianggap tidak memiliki legal standing khususnya tidak memenuhi selisih suara maksimal 2 persen sebagai syarat menggugat hasil pilkada, namun kedudukan hukum (legal standing) Pemohon adalah beralasan menurut hukum.
Akan tetapi, dalam perkembangannya, MK telah mengubah sikap saat memberlakukan ketentuan ambang batas sebagai syarat formil permohonan perselisihan hasil pilkada. Ketua Mahkamah Konsitusi Suhartoyo mengatakan perubahan sikap ini telah ditunjukkan MK dalam beberapa putusan pada sengketa hasil pilkada terakhir. Menurut Suharyoto, jika pemohon dapat meyakinkan Mahkamah bahwa dalam proses penetapan hasil pilkada yang dilakukan oleh termohon (KPUD) ada kesalaha atau kelalaian termasuk ada peristiwa pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), bisa dilanjutkan ke tahap pemeriksaan pokok perkara hingga diputuskan. Wakil Ketua MK Saldi Isra pernah menjelaskan bahwa dalam Pilkada Serentak Tahun 2020, terdapat salah satu contoh kasus di mana Mahkamah Konstitusi mengabaikan syarat formil ambang batas ketika melihat substansi pokok permohonan yang spesifik.
Dari beberapa sumber yang kami baca, perkara sengketa Pilkada di Kabupaten Sabu Raijua yang kala itu diperiksa oleh MK, Dalam perkara ini, Mahkamah mengabaikan jangka waktu proses dan syarat formil ambang batas. Tidak tanggung-tanggung, dalam perkara ini Mahkamah, bahkan mengabulkan permohonan pemohon dan mendiiskualifikasi pasangan calon kepala daerah yang ditetapkan KPU sebagai calon terpilih. Jadi, pandangan mahkamah tentang permohonan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah memang sudah lebih maju, dapat menggali hal-hal yang subtantif. Bisa jadi, persoalan-persoalan penggunaan APBD untuk berkampanye, persoalan penggabungan Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang menyebabkan turunnya angka partisipasi hingga di bawah 50%, persoalan kampanye saat masa tenang, dan lain sebagainya menjadi hal penting dalam pertimbangan dan putusan diskualifikasi lalu pelaksanaan PSU di kemudian hari. Artinya, saat ini Mahkamah Kosntitusi berpikiran luas dalam melihat persoalan perselisihan ini. Ya, bukan semata-mata hanya memenuhi syarat formil; ambang batas selisih untuk mengajukan permohonan.
Jadi, bagi paslon yang akan mengajukan diri sebagai pihak terkait terhadap permohonan tersebut, atau merasa akan dirugikan dari dampak dilanjutkannya pemeriksaan pokok perkara pasca dismissal, berisap-siaplah untuk menghadapi salah satu dari 2 kemungkinan; tetap dilantik atau diskualifikasi lalu PSU. Lex nemini operatur iniquum, neminini facit injuriam, hukum tidak memberikan ketidakadilan kepada siapa pun dan tidak melakukan kesalahan kepada siapa pun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H