Beberapa hari lalu, sebuah organisasi bernama Persebatian Pemuka Masyarakat Riau (PPMR) mengadakan pertemuan di suatu tempat, membuahkan hasil, diantaranya menolak Muhammad Nasir dicalonkan sebagai Gubernur Riau Periode 2024-2029 dan menyayangkan partai politik yang mengusung karena tidak melakukan penyaringan secara cermat dan bijak. Tersebab yang bersangkutan tidak memiliki hubungan historis dan ikatan emosional secara langsung dengan Riau, dan sudah menjadi rahasia umum bahwa yang bersangkutan juga memiliki rekam jejak yang tidak terpuji, sangat jauh dari kriteria dan persyaratan kepemimpinan Melayu Riau, selain itu selama 3 (tiga) periode yang bersangkutan duduk sebagai wakil rakyat di DPR RI Daerah Pemilihan Riau tidak pernah memberikan kontribusi yang nyata dan berarti bagi pembangunan daerah Riau.
Sebelum saya meneruskan tulisan ini pada paragraf-paragraf selanjutnya, akan akan melakukan disclaimer, bahwa saya memang tidak saling kenal dengan Muhammad Nasir, belum pernah bertemu berbicara khusus secara empat mata, apalagi menyimpan nomor teleponnya. Ya, sama seperti dengan Syamsuar, Edi Natar, S.F. Haryanto atau kandidat-kandidat Bakal Calon Gubernur lainnya yang muncul ke permukaan. Rata-rata, saya memang tidak mengenal mereka. Saya hanya kenal Abdul Wahid dan Firdaus. Nama pertama karena kawan satu kampus dan satu organisasi alumni. Dan nama kedua karena pernah menjadi bagian tim pemenangannya saat mencalon jadi Gubernur Riau periode 2018-2023 kemarin. Hasilnya kalah. Jadi, dapat juga dianggap tulisan ini dari seseorang yang pernah kalah.
Ada beberapa kata yang menarik, tergoreskan dalam kalimat penolakan terhadap Muhammad Nasir yang saya baca dari statemen beredar. Pertemuan yang tidak saya hadiri undangannya tersebut, menuliskan bahwa penjaringan (merekomendasikan) Muhammad Nasir oleh partai politik dalam hal ini bagi saya mengarah ke Partai Gerindra dan Partai Demokrat.
Dua partai yang dalam hitungan saya mendapatkan sekitar 10,30% dan 8,55% suara di DPRD provinsi Riau itu rasanya mustahil rasanya "sembarangan" dalam menentukan pasangan bakal calon yang akan mereka usung. Kalimat "tidak melakukan penjaringan secara cermat dan bijak.
Tersebab ........ dst." seakan Ketua DPRD Provinsi Riau pada zamannya, Dr. drh. H. Chaidir, MM., mengerti betul bagaimana mekanisme penjaringan yang dilakukan oleh kedua partai. Mengerti betul, karena dapat menyimpulkan bahwa kedua partai dimaksud melakukan penjaringan secara tidak cermat dan bijak.
Tidak cermat berarti juga keadaan atau sikap di mana seseorang tidak teliti, tidak hati-hati, atau tidak memperhatikan detail saat melakukan suatu tindakan atau tugas. Dan juga dianggap sebagai sebuah tindakan yang tidak bijak karena merupakan sebuah keadaan atau sikap di mana seseorang tidak menunjukkan kebijaksanaan, pertimbangan yang matang, atau pemahaman yang baik dalam membuat keputusan atau bertindak.
Jika statemen yang diungkapkan untuk kedua partai tersebut adalah sebuah ungkapan objektif, maka data-data ketidak-cermatan dan ketidak-bijakan pemutus rekomendasi; baik tahapan, mekanisme internal partai, analisa internal, kondisi objektif lapangan dan lain sebagainya, tentulah telah dipegang oleh mereka-mereka yang beranggapa demikian.
Namun, jika kesimpulan yang dibuat dan diedar ke khalayak ramai itu tanpa data internal kepartaian hanya berdasarkan informasi yang beredar dari mulut ke mulut saja, maka nilai subjektifnya memiliki kadar lebih rendah dari objektif. Jika kondisi yang kedua terjadi, maka dapat dikatakan bahwa, bisa saja khalayak yang hadir bias dalam pengambilan keputusan, atau keputusan yang diambil lebih berdasarkan pada perasaan, preferensi pribadi, atau pendapat individu, daripada fakta dan data yang objektif. Hal ini dapat menyebabkan keputusan yang tidak adil atau tidak efektif.
Ketika subjektivitas mendominasi, penilaian terhadap suatu situasi atau kinerja seseorang mungkin tidak akurat. Misalnya, dalam konteks pekerjaan, seorang manajer yang sangat subjektif mungkin memberikan penilaian yang tidak adil kepada karyawan karena preferensi pribadi.
Jika orang merasa bahwa keputusan atau penilaian tidak didasarkan pada objektivitas, mereka mungkin kehilangan kepercayaan pada sistem atau individu yang membuat keputusan tersebut. Hal ini dapat mengurangi moral dan kepercayaan dalam organisasi atau komunitas.