Suatu hari, Penjabat Walikota pada masanya, Muflihun, S.STP., M.AP., memanggil saya ke sebuah tempat dimana dia biasa menghabiskan waktunya untuk merenung terhadap langkah-langkah birokrasi yang dia ambil. Waktu itu, masih masa kedua dirinya menjabat sebagai Penjabat Walikota. Singkat cerita, seraya dia mempersilahkan menikmati kopi yang dihidangkan, cerita-cerita tentang keinginannya membangun kota lebih baik dari saat dirinya menjabat pun mengalir bagai air sungai Jantan. Cerita yang keluar dari lelaki kelahiran 45 tahun lalu, dituturkan secara bertahan, tenang, namun saya pahami, ada arus kencang dibawahnya. Konon, begitu pula karakteristik sungai Jantan, "diam-diam menghanyutkan".
Uun (begitu sapaan akrabnya) mengisahkan bagaimana dirinya kesulitan mengimbangi riak di dalam wilayah kepemimpinannya. Riak yang sebenarnya tidak layak ada, karena menyangkut martabat pemerintahan. Sejak diangkat pertama kali sebagai Penjabat Walikota di medio 2022, dengan segenap tenaga dia membangun pola kepemimpinan kolektif, yang tidak bertumpu pada satu nama saja, melainkan melibatkan nama-nama lain seperti kepala OPD dan aparatur berwenang. "Saya mengutamakan prinsip kolektifikas dalam pengelolaan daerah, bang," ucapnya padaku. Ya, Uun kerap memanggil saya dengan sebutan "bang*, padahal usianya terpaut 2 tahun lebih tua diatas saya. Namun, di saat kekinian, sebutan "bang*, *om", "kak*, "tante", dan lain-lain, tidak dapat menjustifikasi usia seseorang, apakah dia lebih tua atau muda.
Dilanjutkannya, banyak hal-hal pada masa dia menjabat, tidak dibicarakan layaknya pimpinan dengan OPD. Beberapa kebijakan seperti perparkiran misalnya, dirinya selaku penjabat Walikota saat itu memang minim info dan kerap tidak mendapatkan data utuh saat dia meminta dokumen untuk dipelajari. "Abang coba bayangkan, saya waktu itu selaku Penjabat Walikota, sudah seharusnya mendapatkan informasi penuh terhadap apa yang sedang dijalankan oleh OPD-OPD terkait, karena akan menyangkut kebijakan keuangan daerah. Dari itulah, saat gembar gembor masalah parkir, saya tidak banyak bicara. Selain menjaga marwah pemerintahan, saya juga tidak mau kepala OPD menjadi sasaran tembak masyarakat yang beranggapan semua persoalan perparkiran itu disusun pada era kami menjabat,* ungkapnya pelan.
Seraya bicara, saya melihat mata Uun berbinar-binar "ah, dia memang birokrat. Bukan politis. wajar jika kerap dikerjain," batin saya dalam hati. Setelah mengisap sebatang rokok sebuah merek ternama, Uun pun melanjutkan ceritanya. "Setiap saat saya berpikiran bahwa, urusan kota ini bukan hanya pembangunan fisik semata, bang. Saya kerap berpikir bagaimana mungkin masyarakat bisa hidup tenang, jika kebutuhan dasarnya tidak dipenuhi. Pola penguatan keluarga saat-saat kami menjabat kemarin, menjadi keutamaan. Jika masyarakat sakit, ada program UHC yang memang program pusat, namun tidak semua daerah sanggup menjalankannya. Dan itu kita laksanakan begitu saya menjabat. Jika masyarakat tidak mampu bergerak ke rumah sakit, ada Doctor On Call. Dokter yang bertanggungjawab terhadap penanganan kesehatan masyarakat salam satu wilayah. Jika dia meninggal dunia, agar penyelenggaraan jenazahnya tidak menjadi persoalan berat, maka kita siapkan santunan kematian. Insyaallah jalan bang," lanjutnya.
Menurut pengakuannya kepada saya, anggaran yang ada dipersiapkan saat itu untuk memback-up program pemerintah pusat yang cukup baik dimassifkan. "Nah, kalau urusan Beasiswa dan modal usaha, ini program andalan yang semasa saya menjabat, alhamdulillah lancar," sambungnya lagi. Menurutnya, dirinya tidak dapat membayangkan jika pemikiran pemerintah daerah hanya sibuk mengurus fisik semata, namun luput merumuskan kebijakan anggaran untuk menjaga Sumber Daya Manusia. "Saya optimis bang, jika pengelolaan keuangan Pemko Pekanbaru dijalankan dengan baik, sesuai pada rumusan awal kebijakan pembangunan, maka insyaallah sumber daya manusia kita akan terjaga. Dan secara berbarengan, kita urus perbaikan-perbaikan infrastruktur yang sudah menampakkan ketidak-layakannya di beberapa wilayah. Seperti jalan, drainase, dan lain-lain," katanya lagi.
Tak terasa pembicaraan kami memakan waktu hampir 3 jam lamanya. Namun batin saya tetap bertanya-tanya, mengapa persoalan perparkiran ditanya tidak utuh sampai kepada seorang Penjabat Walikota saat itu? Apakah hal yang sama dirasakan oleh Penjabat Walikota saat ini? hmm. Anggap saja ini cerita yang bergumul dalam otak dan pikiran saya. Suatu saat, saya yakin dan sebenar-benar yakin , bahwa begitu dilantik menjadi walikota periode 2024 - 2029, Uun akan menjalankan pemerintahan yang lebih baik dari masa dia menjabat sebagai Penjabat Walikota Pekanbaru 2 tahun kemarin. Jika bukan Uun, Siapa lagi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H