Lihat ke Halaman Asli

Rinaldi Panji Putra

Masih belajar untuk berbagi

Ibu Enjah Oh Ibu Enjah

Diperbarui: 16 Agustus 2016   16:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Coba anda bayangkan, ketika 8 November tahun lalu, anda beserta teman-teman anda melakukan Balai Pengobatan Gratis disebuah desa yang cukup jauh dari pusat kecamatan dengan kondisi geografis (agak terpencil) dan kontur jalan yang menanjak serta tidak tersedianya transportasi umum yang memadai dengan harga terjangkau. Desa itu bernama Mekarjaya. Jarak dari Desa Mekarjaya kurang lebih 6-8 kilometer dari Kantor Kecamatan Banjaran atau sekitar 16 kilometer dari Soreang (ibukota Kabupaten Bandung).

Lalu sembilan bulan kemudian, tepatnya hari Senin, 8 Agustus 2016 sekitar pukul 14:20 WIB, sama sekali tidak disengaja saya bertemu dengan salah seorang wanita paruh baya yang dulu pernah mengikuti pengobatan gratis yang diprakarsai oleh Volunteer Doctors, apa perasaan anda saat itu? Waw! Kok bisa?! Biasa saja! atau sama sekali tak perlu dibayangkan karena itu merupakan hal yang biasa?!

Itu hak anda untuk menjawab. Namun lain hal dari apa yang saya rasakan. Pertemuan yang sama sekali tidak disengaja dengan seorang Ibu berusia 56 tahun ketika saya melakukan kunjungan “mendadak” ke Desa Mekarjaya setelah mengurus BPKB motor di Mapolres Bandung, Soreang. Saat itu, saya berbasa-basi bertanya mengenai pendakian ke Gunung Puntang.

Ibu Enjah namanya, warga Kp. Kolelega, Desa Mekarjaya, Banjaran. Ibu Enjah mengaku bahwa ia pernah mengikuti balai pengobatan gratis pada hari Minggu, 8 November 2015 yang bertempat di salah satu Madrasah, dekat Balai Desa Mekarjaya. Ia menuturkan, bahwa keluhan ketika ia datang ke balai pengobatan gratis adalah sakit kepala sebelah (migrain). Sakit migrain sudah lama diderita oleh Ibu Eunjah, namun beliau tidak menjelaskan secara rinci kapan awal mulanya ia menderita sakit migrain.

Ibu Enjah melanjutkan ceritanya dengan bercerita mengenai kondisi pelayanan kesehatan yang minim. Puskesmas hanya ada di pusat kecamatan, Banjaran. Warga terpaksa harus “turun gunung”. Bagi warga yang tidak memiliki kendaraan pribadi, seperti Ibu Enjah, warga bisa menggunakan kendaraan umum. Ada angkot dan ojek. Dengan angkot mereka harus merogoh kocek sebesar Rp 10.000 untuk satu kali perjalanan. Itupun dengan jadwal angkot yang sangat terbatas dan tidak menentu. Dan untuk transportasi yang lebih cepat: ojek; warga harus mengeluarkan ongkos yang lebih besar, yakni Rp 20.000 untuk satu kali jalan.

Dengan menggunakan bahasa Sunda, ia bercerita bahwa ia diperiksa oleh satu orang perempuan yang usianya masih belia (mereka adalah teman saya), lalu ia diberi beberapa obat agar kepala sebelahnya dapat segera sembuh. Dan alhamdulillah, berkat ridho Alloh, sakit kepala sebelah yang sudah lama Ibu Enjah derita dapat sembuh hingga saat ini. Ibu Enjah bersyukur karena saat itu bisa datang ke balai pengobatan gratis. Dan dengan nada heureuy, Ibu Enjah pun mengatakan, “Mun Kasep bade ngaayakeun deui balai pengobatan, insya alloh Ibu dongkap!”.

Wah ternyata Ibu Enjah juga jago “kode-kodean”, ia memberikan “kode” agar dikemudian hari saya dapat menyelenggarakan kembali balai pengobatan di Desa yang sama, Mekarjaya. Mendegar perkataan dari Ibu Enjah saya hanya bisa tersenyum sambil berkata, “nyuhunkeun pidu’ana weh Ibu”.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline