Lihat ke Halaman Asli

Kurniasih

pengajar dan penulis

Generasi Perempuan Tak Bahagia

Diperbarui: 26 Februari 2017   18:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

I

Menjadi Perempuan: Problematis

Setelah sang suami mati karena serangan jantung, hidupnya menjadi tanpa arah. Kegiatan kesehariannya tak punya fokus yang berarti lagi. Sementara anak-anaknya sudah berkeluarga, sehingga dia tak punya kewajiban lagi untuk merawat mereka. Di sela-sela harinya yang menjadi kosong, dia membuka isi hatinya kepada seorang pemuda yang baru dilihatnya, yang sedang memperbaiki rumah anak lelakinya. Dia berkata:

“Jika kau suruh aku jelaskan hidupku, dan apa yang telah kulakukan. Seperti yang kau lakukan kemarin, aku harus katakan, ‘Tak banyak.’ Aku hanya ada di sana. Aku selalu khawatirkan semuanya, untuk hidup di dalamnya dengan benar. Aku adalah istri yang buruk. Tapi itu yang dilakukan oleh semua wanita. Dan aku hanya mengikutinya, sampai beberapa menit yang lalu…suamiku suka aku di rumah untuk menjaganya. Dia tidak suka aku punya teman, dan aku tidak ada teman.”

Lalu si pemuda itu bertanya, “Kau selalu lakukan apa yang dia suruh.” Dia pun menjawabnya, “Itu jauh lebih mudah. Kami belum mengenal feminisme saat itu. Aku kira ada laki-laki yang menyukai perempuannya mengalami depresi. Laki-laki yang merasa nyaman ketika perempuannya tidak bahagia.” Pemuda itu pun melontarkan ketidakpercayaannya, “Tuhan, hal itu tak pernah terpikirkan olehku.”

Dia adalah seorang ibu yang suaminya mati di usia lanjut. Begitu kisah yang dinukil dari film The Mother ini. Dia adalah salah satu model dari potret kehidupan perempuan yang tidak bahagia dengan kehidupannya sebagai ibu rumah tangga. Terkait dengan hal itu, dalam salah satu episode Oprah Winfrey, Maria Shriver penah menjadi bintang tamu dengan tema mengenai perannya sebagai istri calon gubernur Kalifornia, yaitu, Arnold Alois Schwarzenegger. Padahal Shriver lahir dari keluarga yang banyak berkaitan dengan politik. Ia adalah keponakan John F. Kennedy, tetapi ia memilih untuk menjadi orang di belakang suaminya, seperti halnya yang dilakukan oleh Hillary Rodham Clinton. 

Shriver menceritakan mengenai perannya sebagai ibu dari anak-anaknya dan mengabdikan dirinya untuk keluarga. Dia banyak memberikan komentar mengenai peran sebagai seorang ibu. Shriver, dengan gaya bicara penuh semangat, mengatakan bahwa persepsi peran ibu di dalam keluarga harus diubah. Dia tak ingin lagi mendengar atau melihat ada perempuan yang merasa rendah diri karena perannya menjadi ibu. Shriver tak ingin lagi mendengar seorang perempuan yang apabila ditanya, “Apa yang Anda lakukan?” menjawab, “Saya hanyalah ibu rumah tangga biasa.” Menurut Shriver, pernyataan tersebut tendensius rendah diri. Shriver sama sekali tak setuju. Sudah saatnya, katanya, para ibu dengan bangga mengatakan, “Saya adalah seorang ibu rumah tangga (tanpa kata ‘hanya’).”

Pada kesempatan lain, seorang perempuan pernah memberikan sebuah kartu nama, yang di dalam keterangan identitasnya disebutkan “Domestic Manager”. Semula saya tidak terlalu mengerti maksudnya. Lalu saya pun tersenyum setelah mulai sadar bahwa Domestic Managerartinya ibu rumah tangga. Mungkin sikap seperti itulah yang diinginkan oleh Shriver, yaitu, ketika seorang perempuan bangga dengan perannya. Walaupun demikian, peran perempuan di dalam keluarga, baik sebagai ibu rumah tangga sepenuhnya ataupun yang mempunyai karir di luar rumah, memang selalu menjadi pusat perhatian. Macam-macam label yang dilekatkan kepada keduanya. Seorang perempuan yang “hanya” menjadi seorang ibu akan mendapatkan label sebagai golongan masyarakat yang tidak produktif atau sebagai golongan yang kurang berpendidikan. Sementara untuk seorang ibu yang memiliki karir dianggap tidak mengurus rumah tangganya dengan baik.

Secara umum, menjadi ibu adalah keinginan banyak kaum perempuan. Bahkan tak sedikit perempuan yang semula memiliki karir kemudian rela memilih untuk secara total berada di rumah mengurus keluarganya. Memiliki keluarga yang terurus adalah impian banyak perempuan, sehingga ia rela mengorbankan dunianya dan menyerahkannya untuk keluarga. Ternyata keputusan tersebut tak selalu berakhir bahagia. Apalagi terdapat mitos-mitos yang harus ia tanggung berkaitan dengan menjadi ibu. Misalnya, seorang ibu harus selalu damai, tentram, submisif dan bahagia. Mitos-mitos tersebut dilekatkan kepada dirinya secara turun temurun dalam masyarakat. Apabila suatu saat ia merasa ada kekosongan dalam dirinya, maka indikasi kekecewaan, merasa sia-sia dengan pengorbanannya, dan kehilangan dunianya pun muncul, maka ia akan sulit untuk mengekspresikannya.

Fakta adanya ibu yang kecewa dengan dunianya bukanlah isapan jempol semata. Apalagi mitos yang dilekatkan kepada mereka menyulitkannya untuk sekadar mengalirkan kekecewaannya, atau bahkan kelelahannya. Apabila ia mengeluhkannya, maka cap sebagai ibu yang tidak becus pun akan dengan mudah diterimanya, sehingga semakin bertambahlah persoalan yang lekat dengan posisi sebagai ibu. Ketiadaan kesempatan dan ruang untuk ibu dalam mengungkapkan persoalannya adalah berbahaya apabila dibiarkan berlarut-larut. Bayangkanlah apabila seorang ibu, yang mencurahkan banyak waktu dan tenaganya untuk merawat dan mendidik anak-anaknya, tetapi ia dalam keadaan tertekan.

Seiring dengan itu, salah satu analisis terhadap persoalan kekecewaan seorang ibu adalah tidak adanya dunia yang merupakan kebutuhan personalnya. Hidupnya menjadi terfokus pada anak-anak dan suami. Sementara dirinya sendiri menjadi terbengkalai. Seorang ibu pernah mencurahkan isi hatinya berkaitan dengan hal tersebut. Ia merasa kehilangan dirinya sendiri, kehilangan tujuan hidup ketika hari-harinya terkuras untuk merawat dan membesarkan tiga anaknya yang masih kecil-kecil. Ia merasa kesepian di dalam kesibukannya dalam merawat keluarganya. Pengalaman yang dialami olehnya adalah hal yang umum dialami oleh banyak perempuan. Seperti juga dikemukakan oleh Ann Oakley, seorang pakar perempuan, yang mengatakan bahwa kunci untuk mengerti mengapa perempuan begitu tidak bahagia dan depresi setelah memasuki kehidupan rutinitas keluarga adalah karena adanya perasaan kehilangan secara sosial dan psikologis.[1] (Lengkapi daftar referensinya) Berdasarkan pandangan Oakley tersebut, salah satu solusi yang mungkin adalah perempuan seharusnya tetap meneruskan kehidupan pribadinya agar ia tak kehilangan arah dalam menjalani kehidupannya. Menjalani kehidupan pribadi, yang berarti tidak mengarahkan pandangan dan tujuan hidup semata-mata untuk keluarga, memang sangat manusiawi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline