Lihat ke Halaman Asli

Kurniasih

pengajar dan penulis

Komedi Hitam tentang Diri ala Sartre

Diperbarui: 21 Februari 2017   14:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)

Ada sejumlah pengarang yang humoris. Jean Paul Sartre termasuk salah satunya. Tetapi humor yang disuguhkannya bukanlah humor ala Extravaganza yang mengocok perut, kemudian membuat kita tidur lebih nyenyak karena lelah tertawa. Humor ala Sartre adalah humor yang bisa membuat kita terpingkal-pingkal sekaligus miris dalam hati. Humornya adalah semacam komedi hitam, yaitu ketika tokoh yang diceritakan memperlihatkan kenyataan hidup dengan sinis. Melalui tokoh-tokohnya, Sartre memperlihatkan bahwa kehidupan manusia adalah absurditas. Penyebabnya adalah karena mereka memiliki kebebasan mutlak dan berkuasa penuh atas hidupnya.

Seperti yang ditampilkan dalam filsafatnya, Sartre tidak percaya bahwa manusia itu memiliki esensi. Hidup manusia berbeda dengan benda mati yang tidak bisa keluar dari cetakan esensinya. Ibarat sebuah pinsil diciptakan hanya untuk menulis, sementara manusia itu bisa menjadi apa pun. Singkatnya, eksistensi mendahului esensinya. Tak ada cetakan dalam diri manusia yang menentukan untuk apa ia ada di dunia. Ketiadaan cetakan primordial itu memungkinkan manusia untuk memiliki kebebasan mutlak, dan konsekuensinya adalah lahirnya absurditas.

Absurditas, pada satu sisi, seakan merupakan kebebasan puncak bagi manusia. Kiranya absurditas akan berujung pada kebahagiaan karena manusia tak lagi dikungkung oleh konsepsi tentang adanya cetakan primordial. Tetapi, ternyata Sartre pun menggambarkan efek absurditas tersebut berupa jejaring yang memerangkap manusia. Bisa dikatakan bahwa hal yang seringkali ditampilkan oleh Sartre di dalam karya fiksinya adalah manusia-manusia absurd. Dia seperti hendak mengganggu pembaca melalui karya fiksinya yang bermuatan filsafat eksistensialis. Bahkan pada tahun 60-an atau pada masa pascaperang, eksistensialisme menjadi spirit yang dihirup oleh banyak kalangan, terutama di negeri asalnya, yaitu Perancis.

Gangguan Sartre tak ubahnya ejekan yang membuat pembaca karyanya seperti terlempar ke dalam pertanyaan apakah kehidupan manusia itu sedemikian menyedihkan? Mengapa kebebasan yang sebenarnya merupakan salah satu idaman malah melemparkan diri manusia ke dalam jurang absurditas? Filsuf berperawakan pendek dan juling itu secara brilian membawa pembacanya ke dalam lingkaran pertanyaan yang tak mudah untuk didapatkan jawabannya. Bahkan pada satu titik kita seakan digiring untuk menertawakan kehidupan yang dijalin ke dalam karya-karya fiksinya. The Age of Reason, salah satu novel triloginya, bercerita mengenai persoalan pelik yang terjadi dalam sekelompok kecil manusia di Perancis pada masa Perang Dunia Kedua. 

Mereka terlibat dalam persoalan pelik, yaitu bagaimana cara menikahi kekasih yang keburu hamil. Intrik-intrik halus untuk memperoleh kemenangan eksistensi atas manusia lainnya menjadi unsur dominan di dalam karya ini. Marcelle, perempuan yang hamil tersebut, menjadi objek perebutan kekuasaan antara dua lelaki yang saling bersaing. Setelah kita dibawa oleh petualangan Sartre dalam menggerakkan kedua tokoh lelaki tersebut untuk mendapatkan Marcelle, kita harus menerima kenyataan bahwa salah satu tokoh laki-lakinya adalah seorang homo. 

Perempuan yang sedang hamil itu harus menunggu siapa dia antara mereka yang berhasil akan menjadi pemenang. Di penghujung cerita kita disodori kenyataan bahwa sang lelaki pemenangnya ternyata adalah seorang homo. Ia memenangkan pertarungan bukan karena sangat mencintai tersebut, tetapi semata-mata untuk mempermalukan rivalnya.

Itulah sedikit cuplikan absurditas yang dikemukakan oleh Sartre. Banyak yang mengakui bahwa apabila kita ingin mengenali pemikiran Sartre, atau eksistensialisme, maka membaca karya-karya fiksinya merupakan jalan yang tepat, karena biasanya bahasa fiksi lebih mudah dirasakan dan dihayati. Demikianlah, diri menurut Sartre adalah makhluk yang memiliki kebebasan mutlak, sedangkan absurditas adalah oleh-oleh dari kebebasan tersebut. Konsepsi tersebut membuat kita bertanya-tanya, apakah hal itu lebih baik? Mungkin ya apabila cita-cita kita adalah kebebasan tanpa batas, apalagi terbebas dari hukum-hukum Tuhan yang mengungkung. Dengan melepaskan diri dari esensi, berarti “menyingkirkan” Tuhan dari kehidupan. Sekali lagi absurditas adalah hadiahnya.

Setelah kita bicara sedikit mengenai komedi hitam ala Sartre, kita bisa mulai membincangkan Milan Kundera yang gayanya tak kalah nakalnya dibandingkan dengan Sartre dalam mempermainkan “nasib” tokoh-tokoh ciptaannya. Kundera mendapat predikat sebagai novelis Ceko-Perancis yang memperoleh banyak penghargaan semacam Prix Medicis dan Premio Leterario Mondello. Setiap karyanya selalu sarat dengan teka-teki yang entah akan dibawa ke mana. Kenakalan Kundera dalam meramu plot dan penokohan bermuara pada gagasan yang lebih radikal dibandingkan Sartre.

Teka-teki yang dibawa oleh Kundera adalah mengenai diri. Apakah itu diri? Itulah yang menjadi inti dari karya-karya Kundera. Di dalam Art of Novel, dia mengatakan, “Semua novel, di setiap masa, berpusat pada teka-teki diri. Secepat Anda menciptakan sosok imajiner, seorang tokoh, secara otomatis Anda berhadapan dengan pertanyaan: apa itu diri? Bagaimana diri bisa terpahami?” Menurutnya, itulah pertanyaan paling fundamental sekaligus merupakan landasan novel. 

Selain itu, akidah yang dimiliki Kundera pun sangatlah cocok dengan kondisi zaman ini. Spirit novel bagi Kundera adalah spirit yang kompleks. Setiap novel mengatakan kepada pembaca: ”Makhluk itu tidak sesederhana yang engkau pikirkan.” Menurut Kundera itulah kebenaran abadi novel. Tetapi hal ini menjadi lebih sulit untuk didengar di tengah hiruk-pikuknya kemudahan yang ditawarkan, jawaban yang cepat atau yang datang lebih cepat dari pertanyaan, dan kemudian menutup pertanyaan ihwal diri tersebut.

Dalam berbagai lapis pembaca karya fiksi, terdapat kecenderungan bahwa spirit novel yang diyakini oleh Kundera itu terlampau “berat”. Di tengah gencarnya penerbitan karya-karya fiksi, ada kecenderungan yang selalu mendominasi, yaitu membaca karya fiksi semata untuk mencari kesenangan. Tidak banyak pembaca yang mau bersusah-payah membaca karya fiksi untuk kemudian dibuat susah tidur karena diganggu oleh pertanyaan-pertanyaan sekitar diri secara radikal. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline