Lihat ke Halaman Asli

Jumlah Harimau Sumatra Sangat Penting!

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Beberapa pihak bisa mengatakan bahwa pengelolaan konservasi harimau Sumatera lebih penting daripada informasi tentang estimasi populasinya. Padahal kita semua tahu bahwa keberadaan harimau Sumatera bisa menjadi indikator eksistensi keanekaragaman hayati di hutan. Jadi bagaimana kita bisa mengabaikan jumlah kucing besar ini? Maksudnya, tentu saja jumlah yang benar.

Sebagaimana dilaporkan dalam survei terbaru, hutan Indonesia saat ini adalah rumah bagi 600 ekor harimau Sumatera yang memberikangambaran lebih optimis dari laporan yang dibuat pada tahun 1994 yang memperkirakan bahwa harimau Sumatera yang tersisa 400 sampai 500 ekor saja. Survei baru yang melibatkan HarimauKita, forum konservasi harimau Sumatera, diadakan tahun 2007 hingga 2009 di daerah seluas lebih dari 250 kilometer persegi yang meliputi 38 cagar alam. Perbedaan jumlah bukan karena populasi meningkat, tetapi lantaran perbedaan dalam metodologi penelitian. Metode ekstrapolasi yang digunakan pada tahun 1994 tidak seakurat yang digunakan dalam penelitian ini, dan hanya dilakukan di tujuh lokasi: lima taman nasional dan hutan konservasi dua di Sumatera. Sementara penelitian terbaru menerapkan model analisis populasi kelangsungan hidup.

Satu tahun kemudian setelah pengumuman di atas, HarimauKita menyatakan bahwa jumlah harimau Sumatra di habitat aslinya hanya sekitar 350 ekor saja tahun ini. Survei harimau Sumatera kali ini menerapkan metode Island Wide Survey  mulai dari Aceh ke Lampung di akhir tahun 2008 hingga 2009. Itu adalah metode baru dan pertama kali dilakukan di dunia. Masih di tahun yang sama, sebuah studi baru-baru ini di Tambling Wildlife Nature Conservation - konsesi satwa liar seluas 450 kilometer persegi di Pulau Sumatra - dilakukan oleh kelompok konservasi Panthera menunjukkan sekitar enam harimau per 100 kilometer persegi di bagian barat daya dari konsesi yang tampak pada data kamera trap. Estimasi ini hampir dua kali lipat jumlah tertinggi tercatat harimau yang pernah tercatat di area tersebut.

Kita bisa berdebat metode mana yang lebih baik untuk menyimpulkan jumlah yang lebih akurat dari populasi harimau Sumatera untuk waktu hidup. Tetapi perlu diketahui bahwa para ilmuwan atau peneliti harus memiliki tanggung jawab moral untuk memberikan informasi yang benar kepada masyarakat. Jika tidak, apa yang akan terjadi terus menerus adalah perdebatan tanpa akhir mengenai fakta-fakta lingkungan versi masing-masing antara perusahaan dan aktivis.

Ini seperti yang terjadi pada Wilmar International Limited (Wilmar) yang merilis surat tanggapan untuk melawan laporan Greenpeace berjudul "Lisensi untuk Membunuh". Laporan 40 halaman tersebut menjerat Wilmar di beberapa isu, seperti membersihkan lahan dengan api dan tidak menghormati penilaian HCV. Masalah terbesar adalah populasi harimau Sumatera menurun yang disebabkan oleh deforestasi. Perusahaan kelapa sawit itu kemudian mengungkapkan fakta-faktanya dan menyebut kesalahan faktual yang ditemukan pada laporan tersebut.

Salah satu koreksi sehubungan dengan harimau Sumatera dan kebakaran hutan adalah pertentangan antara peta laporan Grenpeace dan Wilmar. Menurut perusahaan, peta itu jelas menunjukkan bahwa PT Jaya Perkasa Jatim (JJP) bukan merupakan bagian dari habitat harimau Sumatra, dan ini bertentangan dengan laporan Greenpeace. Hal yang menarik untuk dicatat adalah titik merah atau deforestasi antara tahun 2011 dan 2012 dicatat dalam laporan Greenpeace berada di luar batas PT JJP yang jelas menunjukkan bahwa masyarakat setempat sangat aktif melakukan pengembangan lahan di luar PT JJP. Kegiatan ini mungkin memiliki kemungkinan menyebabkan kebakaran pada Juni 2013.

Greenpeace tampaknya membutuhkan lebih banyak waktu untuk mengumpulkan data yang valid untuk laporan berikutnya. Sambil menunggu Greenpeace memperbaiki cara mereka memperoleh data, peran peneliti atau ilmuwan yang memenuhi syarat sebagai pihak yang netral sangat penting untuk menjawab misteri di balik jumlah harimau Sumatera apakah meningkat atau menurun. Sehingga organisasi non-pemerintah lingkungan (ENGOs) tidak memiliki kesempatan untuk mengklaim apapun yang mereka inginkan sebagai obyek untuk menuduh korporasi. Laporan ENGO pun tidak akan menjelma menjadi lisensi untuk memfitnah. Inilah sebabnya mengapa dunia benar-benar membutuhkan lebih banyak data ilmiah agar catatan akhir (endnotes) pada laporan Greenpeace yang menyatakan sulit untuk mendapatkan jumlah harimau Sumatera tidak akan terjadi lagi.

Ini bukan pertama kalinya Greenpeace dan kelompok lain yang sejenis menerbitkan sebuah laporan yang menghubungkan angka harimau dan satwa lainnya berkurang dalam operasi perusahaan perkebunan. Bahkan kritik mereka kerap selangkap lebih jauh, hingga menghubungkan konsumsi produk pasar massal, seperti pasta gigi, kertas toilet dan permen, sebagai penyebab hilangnya habitat hewan. Namun, mengerjakan sebuah karya ilmiah berdasarkan data yang tidak valid sebagai alasan untuk menuduh perusahaan adalah sebuah kebusukan.

Sangat memprihatinkan, ENGOs yang diharapkan terdiri dari lulusan perguruan tinggi yang kredibel tampaknya tidak ingin berjalan jauh untuk mendapatkan data yang valid saat ini. Mereka lebih berpegang teguh pada laporan lama sehingga drama dapat dimainkan dan sumbangan terus mengalir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline