Papua, sebuah pulau di paling timur Indonesia. Tak ada yang tak mengenalnya, kekaayaan alam yang melimpah dengan tingkat keanekaragaman hayati sangat tinggi dan tak terelakkan lagi atas keindahan alamnya. Salah satu kekayaan alam yang dimilikinya yaitu dalam bentuk kawasan hutan yang sangat luas dan belum terjamah oleh tangan-tangan manusia (Hidden Paradise Forest). Hutan Papua juga menempatkan posisi ketiga di dunia dalam menyumbangkan oksigen sehinga dapat disebut sebagai paru-paru dunia.
Kini, Paradise Forest mulai terancam oleh ekspansi perkebunan kelapa sawit secara besar-besaran. Pada 16 Mei 2020 terjadi sebuah kasus amat pelik yaitu kematian Marius Betera, seorang petani di Kabupaten Boven Digul, Papua akibat pertikaian dengan Brigadir Polisi Melkianus Yowei. Pertikaian ini disulut dengan kekecewaan Marius Betera atas rusaknya ladang miliknya yang diduga dilakukan oleh PT Tunas Sawa Erma, anak perusahaan PT Korindo yang sedang ekspansi perusahaan kelapa sawit. Adapun perkembangan kasus ini sampai sekarang masih belum menemukan titik terang. Bahkan, 126 organisasi dan LSM telah mengirim surat kepada kedua grup usaha asal Korea Selatan, Korindo Grup dan POSCO INTERNATIONAL untik lebih keras mencegah semakin parahnya pelanggaran HAM terkait semua kegiatan usahanya.
Bukan hanya itu, setelah kasus Mei lalu yang belum terselesaikan, PT korindo kembali melakukan pelanggaran untuk memuluskan jalan usahnya. Bulan November lalu Greenpeace International dan Forensic Architecture mempublikasi temuannya terkait dugaan pembakaran utan yang sengaja dilakukan PT Korindo. Pada laporan tersebut didapatkan bahwa sekitar 57.000 hektar hutan telah dibuka untuk dialihkan menjadi lahan perkebunan Kelapa Sawit. Adapun pengalihan lahan tersebut dilakukan dalam kurun waktu yang singkat yaitu 18 tahun (2001-2020).
Nasib Masyarakat Adat
Hutan tidak hanya berperan sebagai habitat flora dan fauna, melainkan sudah menjadi bagian penting kehidupan masyarakat adat. Secara turun menurun, masyarakat adat telah menggantungkan hidupnya pada hutan. Contohnya, masyarakat terbasas mencari makan di hutan dengan berburu. Masyarakat pun tak hanya mengandalkan hutan sebagai sumber makan, melainkan juga dijadikan suatu tempat yang suci dimana tempat para roh leluhur mereka berada. Oleh karena itu, dengan rusaknya hutan tersebut masyarakat adatlah yang paling merasakan dampaknya. Terlebih dengan pembukaan hutan dengan cara pembakaran yang disengaja merupakan suatu tindakan yang illegal.
Dilansir Greenpeace, Petrus Kinggo, ketua marga Kinggo dari Suku Mandobo menjelaskan bahwa korporasi menggunakan berbagai cara untu mendapatkan tanah dari kendali masyarakat adat. Misalnya dengan pembangunan sumur bersih, memberikan biaya pendidikan, dan lain sebagainya. Adapun mereka datang bersama pejabat local dan aparat keamanan sehingga memberikan tekanan bagi masyarakat adat. Seolah tanah adat berkewajiban dilepaskan ke mereka begitu saja, meski tidak ada unsur pemaksaan.
Kegiatan pengalihan hak kelola hutan adat ini sangat merugikan masyarakat adat. Mengambil tanah mereka sama artinya dengan merampas masa depan generasi selanjutnya. Dampak lebih buruknya lagi kehidupan komunitas masyarakat adat kini menjadi bergantung kepada perusahaan perkebunan kelapa sawit. Meski tidak ada jaminan perusahaan tersebut akan bertanggung jawab dalam jangka panjang.
Lindungi Hak Masyarakat Adat
Kasus ini mencerminkan bahwa masyarakat adat bukanlah prioritas Negara yang seharusnya dilindungi secara penuh. Kegiatan pembakaran dan pelanggaran HAM oleh Korindo sampai sekarang belum tersentuh hukum. Padahal kegiatan yang telah dilakukan tersebut melanggar Putusan Makamah Konstitusi No.35/PUU-X/2012 yang menegaskan bahwa hutan adat adalah hutan yang berada di wilayah adat, dan bukan lagi Hutan Negara. Dalam putusan ini berarti masyarakat adat memilki hak penuh atas pengelolaan Hutan Adat. Namun, putusan ini perlu dikaji lebih lanjut dalam bentuk peraturan yang lebih tinggi yaitu Undang-undang.