Lihat ke Halaman Asli

Rina Dewi Umayah

bercerita dari sisi perempuan

Aku Seorang Buruh

Diperbarui: 19 Oktober 2021   17:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku seorang buruh. Keringatku dibeli oleh mereka yang bengis. Tubuh ini dibuat patah tujuh, hanya untuk memenuhi kebutuhan saku mereka. Walaupun benar upah yang kuterima tak sebanding dengan tetesan peluh yang ku korbankan menuju kematian.

Meski begitu, aku dan pekerja lainnya mesih tetap bertahan. Dapur istriku masih harus tetap mengepul. Anak-anakku masih harus pergi ke sekolah. Dan akupun masih harus tetap membeli kretek bijian.

Mungkin karena tidak ada jalan lain. Sebagai seorang laki-laki yang hanya lulusan seadanya, tanpa gelar, tanpa bintang di pundak. Kami harus tetap patuh. Jangankan untuk memprotes, mengkritik kinerja perusahaan pun kami tak ada benar-benarnya. Mulut kami harus diam bila tak ingin ditendang.

Alasannya cukup jelas, karena negeri ini bukan lagi milik pribumi. Pemerintah yang kongkalikong dengan korporasi dengan sadar menjual segala kekayaan alam. Baik di darat, laut, dan segala isinya tandas. Kau tau, semua itu seperti barang obral. Otoriter pemerintahan berjubah demokrasi. Setidaknya lebih daripada cukup untuk membungkam bagi mereka yang menolak patuh.

Walau demikian rakyat sepertiku hanya bisa menjadi penonton setia. Sesetia rasa sayangku padamu. Di tengah-tengah ironi dan satire yang disuguhkan penguasa, paling tidak membuat manusia-manusia sepertiku hanya bisa menikmati getahnya saja. Penindasan dan eksploitasi di negeri sendiri, sungguh tak masuk akal pikirku.

Kami dipekerjakan tak ubahnya mesin produksi. Tanpa mengenal batas kemampuan tubuh bisa beroperasi. Tak sedikit pula pekerja di tempatku dibuat hilang nyawa. Bukan sebab pembunuhan ataupun semacamnya. Namun hanya karena kelelahan. Begitu kira-kira yang disampaikan oleh dokter yang memeriksanya. Entah kapan diriku ini menuntut gilirannya.

Dan kini jam makan siang hanya tinggal beberapa menit. Perutku keroncongan tak karu-karuan. Menuntut diri untuk lekas beranjak dari pekerjaan. Satu-satunya yang terdekat adalah tukang bakso. Ku pikir itu sudah cukup untuk membungkam perut.

Seperti biasa, tukang bakso itu menyapaku dengan ramah. Dia hafal betul aku pelanggan tetapnya. Tak jarang masing-masing dari kami bertukar cerita soal kehidupan. Nasib seorang p ekerja yang terasingkan dari ramahnya bumi pertiwi.

Aku memilih bakso lemak sebagai pemasok energi setelah separuh tenaga ini dikoyak-koyak bekerja tanpa upah makan. Ironis memang.

Bagaimanapun bernar wejangan yang selalu diberikan penjual bakso kepadaku bukanlah suatu hal yang bisa dianggap remeh. Ia selalu bercerita tentang bagaimana busuknya pemerintahan rezim ini. Ada pula sebuah narasi yang membekas dalam pikiran seorang buruh sepertiku.

“Negeri ini memerlukan orang-orang yang revolusioner. Seperti halnya Lenin yang mampu meruntuhkan sistem pemerintahan yang keji nan mungkar.” Begitulah perkataannya yang terus terngiang-ngiang di kepalaku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline