Mentari di ufuk barat , membenamkan diri di peraduannya seolah tak menghiraukan Delia yang kini sedang terkulai lemas di sudut kota Bandung.
Hendrawan, suami Deliapun terdiam, tak satupun kata keluar dari mulutnya untuk sekedar menenangkan istri tercintanya. Mereka sama sekali tidak menghiraukan orang -orang di sekitar trotoar jalan di mana mereka kini duduk. Delia duduk bersandar pada sebuah tiang listrik , Delia sibuk memaki -maki dirinya, hatinya memberontak dan memaki. " Mengapa aku harus seperti ini ? mengapa aku pergi meninggalkannya ? Mengapa ... ? Mengapa ... ?
" Delia... ibunda tidak mungkin menunggumu ..., kamu harus mengikhlaskan kepergiannya" ucap kakak Delia baru saja melalui telepon genggam. Delia diam seribu bahasa. Delia berteriak ..... Ibu.... Ibu...." . Teriakan Delia seolah memecah kota Bandung , yang kini mulai rintik hujan turun membasahi tanah kota. Hujan rintik ini membasahi tubuh Delia dan hal ini seakan melengkapi penyesalan Delia dalam keterpurukan diri penyesalan. Delia merasakan hadir di pemakaman sang ibunda, saat yang sama , sang ibunda sedang diusung ke peristirahatannya yang terakhir. Kini, hanya air mata yang mengalir dari kedua pelupuk matanya, air mata yang tak berguna , air mata yang hina menurut Delia. Tangannya meremas ujung pakaiannya dan dia tertunduk dalam ... dalam.... Ditemani Guyuran hujan kota Bandung saat itu, Delia berdo'a ' Ya Allah... terimalah semua amal ibadah ibuku, tempatkan di sisi Mu , berikan kebahagiaan , ampuni semua kekhilafannya. Tempatkan di SurgaMu ya Robb...." .
Ning ... nong ...
Bel sekolah berbunyi, memberi isyarat pada seluruh warga sekolah untuk memulai pembelajaran, Bu Del ...sebagai salah seorang guru di sekolah tersebut bersama rekan -rekan lainnya bergegas menuju ruang kelas. Baru saja bu Delia akan membuka pembelajaran di kelas. Mang ebod, begitulah nama panggilan petugas kebersihan di sekolahnya , mengetuk pintu kelas untuk menyampaikan sebuah surat kepada bu Delia." Maaf bu guru... ini ada surat tugas untuk ibu dari Kanwil Jawa Barat ", kata mang Ebod. "Terima kasih, pak ...." , ucap Delia. Sesaat setelah menerima surat tugas tersebut, muncul kebimbangan pada dirinya , di satu sisi bu Del merasa harus mematuhi seluruh peraturan terkait tugas yang diberikan padanya, namun di sisi lain, dia merasa berat pergi bertugas dengan mengkhawatirkan kondisi kesehatan ibunya akhir akhir ini. Hatinya terus bertanya -tanya , " Apakah aku harus meninggalkan ibuku dalam kondisi seperti ini ? , ' Bagaimana aku bisa ? 'Surat tugas itu ? 'Memang.... tidak ada rekan yang dapat menggantikanku ?, ' Bagaimana bila terjadi hal yang tidak aku harapkan di kala aku pergi ? apa yang harus kulakukan ? '.......
Pertanyaan pertanyaan dalam hati Delia mendorongnya untuk bergegas menemui wakil kepala sekolah, karena Bapak Kepala sekolah sedang berdinas di luar kota pada saat itu. Ibu wakil kepala sekolah yang bu Del temui saat itu dengan tegas berkata , " Surat tugas dari Provinsi Jawa Barat ini bertuliskan nama bu Delia, berarti itu artinya tidak bisa digantikan oleh siapapun juga, coba bu Delia baca catatan mengenai hal tersebut. ". mata Delia terbawa membaca tulisan tersebut , memang benar terdapat tulisan tersebut dalam catatan surat. " tapi... bagaimana ya, bu ? saya khawatir dengan kondisi ibundaku saat ini, ibu saya saat ini sedang sakit keras dan saya merasa tidak tega untuk meninggalkannya ." Ibu wakil kepala sekolah yang Delia temui ini hanya mengangkat bahu dan wajahnya mulai merengut. Bagi Delia, itu sebuah isyarat untuk segera bergegas keluar dari ruangannya dan tidak ada pertimbangan lagi.
" Maaf Delia,sepertinya saya tidak bisa menggantikanmu, ada beberapa laporan keuangan sekolah yang harus segera saya selesaikan dan deadline pada minggu ini", jawab bu Rosmini, rekan kerja Delia , guru pada satu mata pelajaran yang sama, yang juga menjabat sebagai bendahara sekolah. Delia bergumam dalam hati, rasanya sering banget deh ibu mengatakan hal itu ketika saya membutuhkan bantuan. Namun etika berteman dan kebaikan hati Delia menjawab, " Baiklah bu Ros, nggak apa bu kalau memang ibu tidak ada waktu ". " Aduh... neng... ibu tidak bisa menggantikan , maaf ... neng... ibu mah gagap teknologi, kalaupun ikut mungkin hanya jadi hiasan saja ," jawab b Nur , rekan senior Delia yang sebentar lagi menyambut masa pensiunnya. " Bingung juga ya... tapi maaf... saya tidak bisa, suami saya sedang pergi ke luar kota dan tidak mungkin saya meninggalkan anak- anakku yang masih bocah." ucap rekan Delia yang lainnya. Alhasil saat itu tidak ada satupun yang dapat menjawab kegundahan Delia . Sempat terfikir firasat buruk Delia tentang teman -temannya bahwa mereka seperti tidak perduli pada kesulitan orang lain , sudah sedemikian burukah pengaruh kehidupan sehingga membuat seseorang tidak empati pada orang di sekitarnya ? " Huss... " Itulah secuil fikiran buruk Delia yang sedang gundah pada saat itu. Dengan sedikit sisa kesabaran Delia menghadapi sikap rekan kerjanya saat itu , Delia mencoba bertahan dengan menanyakan pada orang terakhir di sekolahnya yang dia yakini dapat dengan bijaksana menjawab kegundahannya. Pak Nurdi, Kepala urusan tata usaha sekolahnya yang Delia fahami sebagai salah satu wakil kepala sekolah juga. Delia bergegas menuju ruang bapak Kaur Tata usaha . Ternyata ini respon beliau , " Ibu Delia, berkaitan dengan hal ini, ibu sebaiknya ikuti saja dahulu , silahkan ibu datang ke tempat tugas ini di Bandung, saya berdo'a semoga keadaan ibunda baik -baik saja, semoga tidak ada sesuatu hal yang terjadi pada ibunda ya... " . bagi Delia kata -kata ini terdengar lembut di telinganya , namun mengandung instruksi , Pergi ! ..... " . ( Glek... itu adalah orang terakhir di sekolah ini yang kutemui, fikir Delia ). Delia menelpon suaminya. " Kak, gimana baiknya ya ? Aku sebetulnya tidak mau meninggalkan ibu dalam keadaan seperti ini. Tapi, bagaimana kak ? semua orang di sekolah mendesak aku pergi. " ya sudah, kamu ikuti saja dahulu. Kita kan semua ada menjaga bunda, coba nanti kakak pastikan dulu ke teteh Marni, ya ? " ucap Hendrawan .
Sore itu ...
Delia dan Hendrawan bergegas ke rumah ibu. Di sana, teteh Marni setia merawat ibu , Delia hampir tidak bisa mengatakan apapun terkait tugas luarnya. Delia duduk di samping ibunda, masih seperti dua hari yang lalu, ibu tertidur lelap sekali, tak berucap sepatah katapun, wajah ibu seperti memberi isyarat bahwa ibu lelah sekali dan ingin beristirahat. Sudah dua hari ini ibu hanya dapat makan melalui selang kecil yang dimasukan melalui hidungnya. Delia menatap ibunya dalam dalam... dan berkata , " Ibu... Delia sangat menyayangi ibu, maafkan Delia atas kelalaian Delia dalam merawat dan menemani ibu selama ini. ya allah... sembuhkan ibuku " . Teh Marni menyentuh tangan Delia untuk keluar dari kamar menuju ruang keluarga. Delia mengikuti langkah teh Marni.
" Hendrawan bilang , besok kamu harus ke Bandung, apa benar seperti itu ? " ,teh Marni mulai bertanya. " ya, teh... ini Delia juga masih bingung. Bagaimana dengan ibu ? ". " Ya sudah kalau memang tugas tersebut tidak bisa ditinggalkan, pergi saja , teteh siap ada di sini selalu ...". "teteh juga menyesal , sudah 2 tahun teteh tidak bisa pulang ke Bogor, karena mengembara di Kalimantan, sungguh tak mudah juga bertahan hidup di sana. Selama ini kamu selalu menemani ibu dengan baik, sekarang giliran teteh merawat dan menemani ibu. Kondisi ibu juga masih seperti kemarin dan belum ada perubahan, kamu pergi saja untuk menjalankan tugasmu, do'akan saja ibu semoga cepat sembuh". Delia tertegun mendengarkan uraian kakaknya. Delia pamit dan sebelum meninggalkan rumah ibu, Delia memandang ibu di kamarnya dengan perasaan sedih yang mendalam