Lihat ke Halaman Asli

Banaspati

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

21 mei 2010

Banaspati. Bagi yang belum kenal dengan yang satu ini baiklah saya mau berbagi sedikit definisi yang mungkin dari sekian banyak definisi yang lain.

Yang saya maksud dengan banaspati itu tidak lain tidak bukan adalah salah satu makhluk ciptaan yang Maha Kuasa yang dikategorikan dalam salah satu dari sekian banyak penghuni alaming lelembut, dhemit, alias alamnya setan atau jin. Seperti halnya tuyul yang memiliki bentuk khas seperti anak kecil, kuntilanak yang katanya mengambil bentuk perempuan berambut panjang atau gendruwo yang berkepala besar dengan mata yang besar pula, Makhluk yang ini mengambil bentuk kepala terbakar yang melayang.

Tentu saja bukan kepala para pelaku bom bunuh diri yang katanya koran juga ada beberapa yang melayang sejauh beberapa meter dari tubuhnya ketika bom diledakkan. Sama sekali bukan. Banaspati itu kepala yang melayang dalam keadaan hidup, matanya melek, bukannya merem apalagi tidur. Tidak, tidak begitu. Juga bukan ndhas glundhung yang suka bergulir kesana kemari dengan wujud kepala yang ngglundhung atau melayang kesana kemari menakuti orang. Banaspati ini kepala melayang yang terbungkus api, dengan wajah seperti kakek-kakek, mata yang besar melotot dan lidah yang kalau sedang mendekati mangsanya jadi menjulur panjang dari mulutnya yang dihiasi taring. Sama sekali tidak ada lembut-lembutnya, walau dia berasal dari alaming lelembut. Percayalah, makhluk ini sama sekali tidak keren. Makhluk ini semakin tidak keren lagi karena sosok yang sudah begitu ajaib masih di tambah dengan konon hobinya yang suka menculik anak-anak, bayi atau balita. Bukan untuk di sayang-sayang tentunya, kalau anak-anak kecil itu lalu di temukan manusia dalam keadaan gosong, kering seperti tanaman yang tidak disiram seminggu. Diapakan coba?

Nah, ternyata saya pernah bertemu dengan makhluk ini. Berpuluh tahun yang lalu, ketika saya belum sekolah TK. Masih balita tentunya. Saya ingat karena pengalaman itu begitu membekasnya karena saking menakutkannya. Padahal ketika bertemu dia saya tidak sendirian. Bersama bapak dan beberapa saudara bapak. Semua lelaki, dan gagah-gagah pula. Ternyata bapak yang gagah dan saudara-saudara bapak yang juga atletis tidak bisa menepis rasa takut saya pada banaspati yang kala itu mendatangi saya. Seandainya saja yang datang itu satu saya sudah ketakutan setengah mati. Lha kok yang datang itu ada sekitar lima. Saya ingat saya sampai tidak bisa nangis. Mungkin sudah saking takutnya.

Saya ingat betul. Kejadiannya sekitar akhir tahun tujuh puluhan. Keadaan tentulah bukan seterang sekarang. Waktu saya kecil dimana-mana masih banyak tumbuhan, masih banyak hutan. Sungai-sungainya juga jernih-jernih sampai ikan yang di dalamnya kelihatan jelas. Banyak hewan liar yang tidak bisa saya temui sekarang di alam liar. Diantaranya burung hantu, yang dulu selalu berbunyi uhu-uhu bila sudah maghrib, lalu kelinci yang bulunya putih bersih berloncatan dan selalu masuk ke liangnya bila langit mulai merah. Saya ingat dulu sering mengambil bayinya yang dia letakkan jauh di dalam luweng (sarang kelinci yang berbentuk lorong panjang masuk ke dalam bumi. Kadang lorong ini begitu jauh masuk ke dalam tanah sampai sejangkauan tangan orang dewasa, baru bisa menyentuh bayinya) buat saya gendong-gendong sebentar sebelum saya masukkan kembali. Bila ketahuan ibu saya selalu di marahi. Sekarang kelinci adanya di dalam kandang. Beranak pun di dalam kandang. Sungguh kasihan. Juga bajing, burung walet, yang dulu sempat bersarang di dalam rumah kami, dan luwak yang kotorannya bercampur kopi sungguh mahal harganya. Tidak ketinggalan asu mbaung atau serigala yang selalu berbunyi di kejauhan bila bulan purnama tiba. Yang kemudian juga selalu di sambut anjing tetangga dengan bunyi yang sama. Jadilah biasanya jam duabelas malam pas purnama terdengar orchestra para anjing yang seringnya membuat saya terbangun dan menangis. Biasanya ibu atau bapak cepat-cepat datang menenangkan saya, mendekap dan menidurkan saya dengan sederet kata-kata hiburan yang menenangkan. Meskipun begitu, butuh waktu lama bagi saya untuk jatuh tertidur kembali.

Binatang lain yang juga mondar-mandir di alam bebas adalah burung merak, burung puyuh, burung elang dan (mungkin) kucing hutan. Saya bilang mungkin karena umumnya orang-orang pada saat itu menjuluki demikian pada binatang mirip kucing dengan badan lebih besar hampir sebesar anjing, berbulu loreng abu-abu tua di seling hitam. Tingkah-lakunya jauh lebih galak di banding kucing, dan mereka lebih suka nongkrong di pohon ketimbang jalan-jalan di tanah. Mereka juga bisa mengeong. Walau tidak menyerang manusia, gerakannya yang cepat sekali dan tampangnya yang tidak bersahabat membuatnya tidak di sukai. Konon kalau ada ayam yang hilang si kucing hutan pastilah jadi terdakwa, menyusul kemudian si burung elang alias alap-alap jadi terdakwa nomor dua. Atau kadang kebalikan, si alap-alap nomor satu, kucing hutan terdakwa nomor dua, tergantung yang punya ayam mau menjatuhkan tuduhan sama siapa.

Jadi begitulah keadaan saat itu. Hutan masih singup, wingit dan medeni. Mendirikan bulu roma kalau malam sudah tiba. Tapi jadi nostalgia bagi orang-orang yang hidup di jaman itu, dan masih bertemu dengan yang begitu-begitu. Termasuk saya yang ketemu banaspati. Nyatanya walau dia tidak sekeren Ari Wibowo tapi terbukti sanggup membuat saya tetap ingat padanya walau 30 tahun lebih sudah berlalu. Nah, ceritanya begini.

Waktu itu bapak mengajak saya pulang ke rumah Eyang di Kertosono. Saya tidak ingat, apakah ibu dan saudara-saudara yang lain ikut, lalu pulang lebih dulu. Yang jelas, hanya tinggal saya dan bapak yang belum pulang. Kalau di kota tempat tinggal kami saja masih seperti itu keadaannya, apalagi di kota kecil seperti Kertosono. Di tambah rumah Eyang juga bukan di kotanya, tapi di desanya. Sekeliling rumah masihlah hutan asli. Halaman rumah eyang seluas beberapa hektar adalah kebun kelapa dengan pohon nangka dan mangga sebagai penggembira. Walau rumah eyang yang lebih luas dari dua lapangan sepakbola sekaligus sudah memakai listrik yang bukan dari PLN, tetapi rumah-rumah sekitarnya yang jaraknya paling dekat adalah satu kilometer sama sekali tidak ada listriknya. Jadi bisa di bayangkan seperti apa bentuknya bila matahari perlahan-lahan mulai masuk peraduan.

Bila di rumah eyang saat-saat seperti itu kabut ikut turun menambah “meriah” suasana. Hawa pun jadi dingin. Saya sudah mulai merengek dengan gelisah, dan maunya di gendong terus. Padahal bapak sudah memutuskan, baru akan mulai perjalanan pulang kembali bila sudah malam. Bapak memang penyuka perjalanan malam. Alasannya kalau malam tidak panas, lebih tidak berdebu, dan penumpangnya lebih tidak berisik, karena kebanyakan penumpang pada perjalanan malam rata-rata memilih tidur saat sudah masuk ke dalam bis. Walau alasan bapak seratus persen benar, tapi sama sekali tidak menyenangkan bagi saya. Saya jadi menyesal mengapa tidak ikut ibu saja. Walau saya selalu merasa aman ada di dekat bapak, tetapi lingkungan sekitar yang terkesan misterius tetap menggelisahkan saya.

Ketika bapak sudah bersiap pulang, tiba-tiba beberapa saudara bapak yang anggota ABRI datang. Mereka berkunjung membawa truk sendiri. Di mata saya mereka juga tidak kalah menakutkannya. Dengan sepatu tentara dan seragam tentara mereka kelihatan tidak ramah. Sayapun bersembunyi di kaki bapak sambil mengintip mereka sedikit-sedikit. Ternyata mereka suka anak-anak. Saya pun lalu diangkat, di gendong-gendong dan di cium-cium sebelum di beri penganan dan di turunkan ke tanah dengan hati-hati. Sayapun lari kembali ke kaki bapak, menutupi muka saya dengan celana bapak, dan kembali mengintip mereka dengan sebelah mata. “Celakanya” kedatangan mereka membuat kepulangan bapak jadi tertunda. Akhirnya bahkan mereka lalu mengobrol kesana-kemari sambil minum kopi. Terkadang di seling tawa gembira, lalu obrolan panjang yang seakan tak sudah-sudah. Saya yang bosan kembali merengek di pangkuan bapak, minta segera pulang bertemu ibu.

Mereka lalu meneruskan obrolan lagi beberapa saat setelah jeda “iklan” yang barusan saya buat. Tapi obrolan yang ini membahas tentang kepulangan bapak dan saya. Mereka menawarkan agar bapak dan saya ikut rombongan mereka saja, karena mereka ternyata akan kembali ke markas yang melewati kota kami. Nanti bapak dan saya duduk di depan. Mereka dua orang saja yang duduk bersama kami, yaitu sopir dan satu orang lagi yang akan duduk di sebelah pintu. Jadi saya dan bapak duduk di tengah, diapit dua orang tentara. Akhirnya kami pun beranjak menuju truk, sambil tak lupa berpamitan pada eyang. Ketika tiba di tempat truk parkir saya sungguh terkejut. Truk itu perasaan saya begitu besarnya. Rodanya saja hampir setinggi saya. Warnanya gelap, tidak kuning dengan aneka gambar perempuan cantik di belakangnya seperti milik Pak Ali pedagang kayu tetangga kami di kota. Saya langsung mogok tidak mau naik, dan minta gendong. Di sela isak tangis saya minta pulang naik bis saja, ini bukan truk. Perasaan saya benda itu seperti monster.

Bapak menenangkan saya, dan meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja. Tentu saja itu truk, kata bapak. Namanya truk tentara. Tugasnya memang membawa para tentara dari satu tempat ke tempat lain. Memang harus besar, harus kuat, karena tentara juga tubuhnya besar-besar dan kuat, bukan? Bahkan mereka juga bawa senjata. Kalau naik truk Pak Ali nanti truknya yang tidak kuat. Begitu bapak menghibur saya yang rewel. Akhirnya setelah bapak berhasil menenangkan saya, kamipun lalu naik. Saya diangkat bapak dan di sambut saudara bapak yang sudah naik terlebih dahulu. Lalu bapak menyusul naik, dan kamipun berangkat.

Sepanjang perjalanan saya mulai tenang. Lampu truk yang terang benderang membuat sekeliling kelihatan jelas. Dan karena truk itu begitu tinggi, jalanan yang kami lalui jadi kelihatan jauh di bawah. Saya mulai menikmati perjalanan itu. Berkali-kali bapak bertanya apakah saya mengantuk yang langsung saya jawab tidak. Bahkan saya lalu berdiri, menempelkan hidung pada kaca truk di depan. Sensasinya seperti melayang. Mungkin seperti Kate Winslet waktu berdiri di haluan kapal bersama Leonardo di caprio di film titanic itu. Begitu terus perjalanan truk membelah malam yang ternyata waktu itu mulai beranjak melewati tengah malam.

Setelah beberapa jam berlalu, rumah-rumah dan cahaya lampu mulai menghilang. Kendaraan pun jadi semakin jarang dan semakin jarang saja. Di kanan kiri tumbuhan semakin rapat dan tinggi-tinggi. Jalanan juga rasanya tidak sehalus tadi. Truk mulai bergoyang-goyang walau pelan. Dari percakapan bapak dengan saudaranya katanya kami mulai memasuki Alas Roban. Alas Roban ini ternyata setelah saya besar barulah saya tahu kalau dari dulunya memang sudah terkenal sebagai hutan yang gawat keliwat-liwat. Ya dari segi makhluk halusnya, ya dari segi rampoknya. Jadi dari segi dua-duanya, manusia dan alam gaib saling bersatu padu dengan tujuan masing-masing yang tidak jelas. Jadi para pengendara yang lewat hutan ini selalu di himbau agar extra hati-hati, dan kalau bisa jangan sampai berhenti. Kalau mogok ya di dalam mobil saja, nunggu pagi datang. Jangan coba-coba keluar kendaraan. Kalau keluar, woo... bisa gawat. Wong makhluk halus itu jagonya menyamar. Mungkin para koruptor yang bisa lolos keluar dari Indonesia dengan jalan menyamar itu bergurunya sama mereka ini. Mereka bisa jadi siapa saja. Bisa jadi wanita cantik yang menangis memilukan di pinggir jalan minta pertolongan, sampai seperti bapak-bapak petani yang seolah baru pulang entah dari mana. Atau seperti anak kecil hilang yang terpisah dari orang tuanya menangis di pinggir jalan. Kadang juga pohon yang tiba-tiba melengkung menghalangi jalan sehingga kendaraan tidak bisa lewat. Lha kalau mereka-mereka ini berhasil membuat kita mendekati mereka apalagi jadi ngobrol, biasanya tak berapa lama mereka lalu menampakkan wujud aslinya yang nggegirisi lengkap dengan tawanya yang hihihi itu. Kalau beruntung kita Cuma pingsan saja lalu di tinggal sama si dia. Yang tidak beruntung kadang kala di bawa ke alam mereka, tidak di kembalikan. Kadang di kembalikan raganya saja, sehingga keluarga masih bisa menemukan raga sanaknya ini dan menguburkannya dengan layak walau sebenarnya belum “mati”.

Juga jamak sudah di ketahui para pengendara malam agar jangan coba-coba berhenti kalau ada yang melambaikan tangan di pinggir jalan. Entah itu lelaki, perempuan, mobil mogok atau apapun itu. Pokoknya jangan berhenti. Karena kemungkinan bila itu bukan manusia hampir seratus persen benar. Jadi cuek saja, terus saja sambil berdoa banyak-banyak.

Waktu itu juga begitu. Ada seorang wanita di pinggir jalan melambai-lambaikan tangannya. Berambut panjang berbaju putih mirip daster ibu. Wajahnya saya tidak jelas karena sang sopir memilih tancap gas ketimbang berjalan seperti biasa. Langsung saja setelah berlalu bapak dan saudaranya membahasnya, mengira-ngira siapa gerangan perempuan itu tadi. Saya yang sama sekali tidak ngeh dengan pembicaraan itu dan tidak merasa barusan melihat-mungkin-salah satu makhluk halus, masih duduk manis dengan kepala bersandar ke lengan bapak yang memeluk saya. Saya juga tidak merasa ngantuk, tidak merasa takut. Mungkin karena tadi pas berangkat sudah kebanyakan nangis jadi akhirnya sekarang malah tidak mengantuk.

Hutan itu rasanya begitu panjang dan seolah tak habis-habis. Di luar lampu truk keadaan gulita semata, seakan kami berada di negeri entah mana. Perlahan-lahan di kejauhan terlihat oleh saya cahaya seperti lampu yang berpindah-pindah. Berkelompok, di kejauhan mengingatkan saya pada kunang-kunang dan memang semula saya mengira itu kunang-kunang yang agak besar. Kalau kunang-kunang cahayanya putih terang, yang ini warnanya kuning, dan geraknya meloncat-loncat jauh. Seolah berpindah dari satu pohon ke pohon lain. Dan saya selalu suka kunang-kunang.

Kalau di rumah bila malam mulai tiba, ibu suka menangkapkan kunang-kunang untuk kami yang di taruh di stoples bening yang atasnya di tutup plastik yang di beri lubang-lubang. Lalu kami bermain di halaman dengan penerangan dari kunang-kunang itu. Setelah selesai bermain, ibu membuka tutup plastik toples dan membiarkan kunang-kunang itu terbang lepas kembali untuk kami tangkap lagi esok harinya. Dan kegiatan bermain di halaman bersama kunang-kunang itu bagi saya sangatlah menyenangkan. Tapi “kunang-kunang” yang ini saya lihat semakin mendekat, dan ternyata semakin besar cahayanya. Dan apa itu yang di tengahnya? Senyum saya semakin lama semakin hilang ketika menyadari bahwa itu ternyata bukan kunang-kunang, tapi bola api yang melayang. Dan yang di tengahnya itu apa? Tak sadar saya merapatkan tubuh mungil saya ke badan bapak yang menyambut saya dengan pelukan yang lebih erat. Saya ingat bapak mengucapkan kata “Banaspati” ketika telunjuknya terarah ke sekumpulan cahaya itu.

Makhluk itu terus mendekat dan terus mendekat. Satu, dua, tiga sudah melayang di depan truk hampir sejangkauan lampu, dan kelihatannya ada lagi di belakangnya beberapa yang tidak tertangkap cahaya lampu truk. Bapak yang terus bercakap dengan saudaranya tampaknya juga melihat makhluk ini. Tapi tangan bapak menunjuk ke kejauhan, bukan yang di depan truk. Dan saudara bapak juga sopirnya yang kadang juga sambil mengendalikan truk mencuri-curi lihat ke kejauhan, seperti lampu rumah penduduk yang berpindah-pindah.

Dan makhluk itu terus mendekat, menyebar di depan, samping kiri dan kanan truk. Jelaslah sekarang apa itu yang di tengahnya. Seraut wajah laki-laki keriput yang sama sekali tidak ramah. Matanya melotot dan tidak salah lagi, menatap saya dengan mengancam. Ketika wajah itu sudah sedemikian dekat di kaca depan truk, tiba-tiba saja mulutnya yang bertaring terbuka dan keluarlah lidahnya yang panjang menjulur-julur. Sorot matanya seakan begitu menginginkan saya. Dua lagi bersamanya, dan dua lagi di kaca samping kanan dan kiri. Total semuanya ada lima. Gelisah saya goyang lengan bapak sambil bertanya itu makhluk apa. Telunjuk saya menunjuk ke kaca truk di depan, tapi bapak rasanya melihat ke arah lain. “ itu banaspati,” katanya sambil berbisik. “Tidak apa-apa, tenanglah. Rina tidur saja.” Saya ikuti saran bapak dan mulai memejamkan mata. Tapi bayangan wajah keriput yang mengancam itu sulit saya hapus dari ingatan. Ketika saya membuka mata, kelima banaspati itu masih menatap saya, bahkan lebih tajam. Dan kali ini mereka bergerak-gerak seolah hendak memasuki truk kami. Entah berapa kali mereka berubah formasi dan setiap kali rasanya semakin dekat saja. Saya ketakutan tidak alang kepalang. Mata saya Cuma bisa mengikuti gerak-gerik banaspati yang mengancam. Saya tidak sadar kalau saat itu saya sudah tidak lagi bisa menangis, tidak lagi bisa bersuara, dan tidak lagi bisa bergerak. Saya lupa apa saya masih bisa berkedip.

Tapi anehnya gerombolan banaspati ini kelihatannya sulit sekali memasuki truk kami. Padahal kedua belah jendela di sisi kiri dan kanan truk terbuka lebar, dan kedua tentara yang bersama kami itu sama-sama merokok tak putus-putus. Tapi seperti ada tabir yang tidak kelihatan menyelubungi truk itu sehingga mereka tidak bisa menembusnya. Karena sudah beberapa lama mencoba dan kelihatannya tidak berhasil, mereka lalu marah. Kepala menyala itu menabrakkan diri ke jendela-jendela truk, depan dan samping, lalu dari atas juga. Suaranya gaduh, tapi bapak dan dua tentara itu sepertinya tidak mendengar apapun selain suara truk dan suara mereka sendiri. Saya yang sudah ketakutan sedari tadi hanya bisa menanti apa selanjutnya yang terjadi. Banaspati yang di depan truk berusaha menjilati kaca yang pas ada di depan saya duduk. Ekspresinya betul-betul mupeng (muka pengen) yang semakin membuat saya putus asa. Saya tahu walau tidak mengerti mengapa, bahwa mereka menginginkan saya. Dan saat itulah untuk pertama kali dalam hidup saya, saya jadi mengerti, bahwa dalam keadaan tertentu, kita akan menghadapi sesuatu seorang diri.Karena apa yang kita lihat dan kita rasa ternyata tidaklah terlihat dan terasa oleh orang lain.

Yang saya ingat kemudian adalah tubuh saya yang sudah basah kuyup, dan tangan bapak yang tiba-tiba meraih kepala saya, dan mendongakkannya dengan lembut. Bapak yang seorang Dalang mencari-cari mata saya dan kami pun saling menatap. “tidurlah,” kata bapak. “tidak apa-apa.” Beliau kembali memeluk saya dan mengangkat jaket yang saya pakai hingga menutupi kepala. Kegelapan menyelimuti saya. Tetapi dalam pelukan bapak saya berangsur tenang. Saya dengar bapak berbisik-bisik, mungkin membaca doa. Lalu di bukanya jaket yang menutupi kepala saya, dan ditiupnya kepala saya perlahan sambil mengulangi lagi perintahnya, “tidurlah, tidak apa-apa. Kamu bersama bapak.” Dan saya pun kemudian terlelap begitu saja. Ketika membuka mata, hari telah pagi, dan ternyata kami sudah memasuki kota. Samar-samar saya masih ingat kejadian semalam, dan masih merasa ngeri. “rina sudah bangun,” sapa bapak sambil tersenyum. Saya diam menatap bapak, tidak sadar kalau saya saat itu ternyata tidak bisa bicara.

Bapak membuka jaket saya, dan membiarkan saya menikmati pagi. “ini ada kue. Mau tidak?” tanya bapak lagi. Saya menoleh, hendak bicara. Tapi ternyata tidak bisa. Bapak kembali memeluk saya, berdoa lagi dalam bisikan dan kembali meniup saya. Kali ini beliau meniup telinga, kedua mata, hidung dan mulut saya. Leher saya beliau usap, lalu di dudukkan di pangkuan. “coba, mau kue tidak?” tanyanya. Saya menggeleng. Bapak mengulangi lagi pertanyaannya. Lalu saya jawab “Tidak.” Bapak tersenyum, terlihat lega. Saya di berinya minum air putih, dan saya menerimanya. Setelah itu kepala saya yang tadi terasa berat jadi ringan. Saya katakan pada bapak bila saya rindu ibu. Bapak bilang sebentar lagi kami akan sampai. Dan benarlah, tak berapa lama kami sudah tiba di depan rumah.

Ibu tergopoh-gopoh keluar menyambut kami, masih memakai celemek. Rupanya ibu sedang sibuk di dapur membuat sarapan. “mengapa lama sekali?” protesnya kepada bapak sambil mengambil saya dari gendongan bapak. Ibu bilang kalau beliau sampai tidak tidur semalaman menunggu kami pulang. Pertanyaannya terjawab ketika saudara-saudara bapak berdiri di pintu mohon diri tidak bisa mampir karena harus terus ke markas. Mereka menolak ketika ibu menawari mereka sarapan.

Sambil sarapan bapak bercerita pada ibu apa yang terjadi semalam. Sepanjang bercerita berkali-kali ibu menatap saya dengan pandangan cemas berganti-ganti dengan tatapan protes bila memandang pada bapak. “dari dulu aku tidak suka perjalanan malam, apalagi membawa anak-anak,” katanya kesal. Bapak tersenyum saja menanggapi protes ibu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline