Saya memulai perkenalan dengan bank syariah bersamaan dengan krisis moneter melanda negeri ini. Para mahasiswa turun ke jalan, termasuk saya yang saat itu masih berstatus mahasiswa tingkat 3 di Universitas Airlangga Surabaya. Bersama-sama menuntut reformasi dan perubahan kehidupan bernegara yang lebih baik, walau entah sekarang bagaimana hasilnya. Suasana Negara begitu gegap gempita, kerusuhan di mana-mana, dan Indonesia menjadi "juara" dalam pemberitaan di dunia internasional. Mengalahkan berita perseteruan Palestina-Israel yang seakan tidak akan pernah berakhir, dan bahkan perang Afganistan yang di masa itu juga menjadi isu yang panas setelah sebelumnya Bosnia sudah lebih dulu menjadi buah bibir. Dan sekarang giliran Indonesia.
Di masa itu setidaknya di kalangan mahasiswa tingkat kepercayaan kepada pemerintah nyaris berada di titik nadir. Apapun yang di lakukan pemerintah adalah salah semata-mata. Suasana yang panas, perekonomian yang kacau balau rasanya belum cukup sehingga masih "di meriahkan" oleh sebagian mahasiswa dan provokator yang membuat ulah dengan membakar segala macam bangunan yang bisa di bakar, dan menjarah apa saja yang bisa di jarah.
Di sisi lain, sebagian para mahasiswa yang tidak ikut serta menyumbang kerusuhan ikut pula di ciduk polisi. Di interogasi berjam-jam bahkan berhari-hari. Sebagian pulang dengan selamat, termasuk saya. Tetapi yang lain pulang dengan luka-luka, dan -sedih saya mengenangnya- ada pula teman-teman yang tidak pulang setelahnya. Entah dikemanakan mereka. Tak kurang-kurang kami mencari kejelasan soal nasib teman-teman kami tersebut, tapi sepertinya masih jauh panggang dari api. Sekarang, setelah sepuluh tahun lebih kami mencari dan tidak jua ada hasilnya, saya selalu berharap dalam hati, semoga mereka baik-baik saja dan senantiasa dalam lindungan Yang Maha Kuasa.
Sementara itu, seperti masih kurang penderitaan rakyat, dana yang tersimpan di bank terancam tersendat. Anjungan Tunai Mandiri yang mulai menjadi andalan masyarakat untuk mengambil uang tunai sehari-hari tidak berfungsi dengan benar. Banyak yang di bobol penjarah, dan sebagiannya tidak ada uangnya karena memang tidak diisi oleh pihak bank. Sebagian yang masih "sehat" seringkali tidak bisa melayani transaksi. Bank-bank memilih tutup atau buka setengah hari. Itupun dengan penjagaan polisi yang sangat ketat. Siapapun yang ada keperluan ke bank di geledah lebih dahulu. Bahkan ada bank yang hanya memperbolehkan masuk orang yang membawa buku tabungan saja. Sungguh situasi yang mengharu biru perasaan.
Saya mengenang masa itu sebagai salah satu masa yang tidak akan terlupakan selama hidup saya. Sebagai rakyat dan salah satu saksi sejarah negeri ini, setidaknya saya masih bersyukur masih diijinkan pulang dengan selamat dari kantor polisi, bisa menyelesaikan kuliah dengan baik, dan hidup sehat sampai sekarang, sehingga bisa menuliskan cerita ini kembali. Bukankah hanya orang yang pernah mengalami kesulitan bernafas yang akan mensyukuri sepenuh hati, betapa bisa bernafas dengan bebas adalah sebuah karunia? Bukankah hanya orang yang pernah merasakan kelaparan yang akan menghargai makanan yang di makannya setiap hari?
Di masa itu saya juga termasuk yang kesulitan mengambil uang di bank. Semasa kuliah dulu selain mendapat jatah uang kuliah dari orangtua dan kakak, saya juga mendapat "jatah" uang kuliah dari honor menulis di beberapa media. Karena honor menulis ini senantiasa di transfer melalui bank, maka jadilah saya salah satu pengunjung tetap bank setiap ada tulisan yang naik cetak. Selain itu, saya juga mulai terbiasa menyisihkan uang saku mahasiswa saya yang terbatas itu sedapat-dapatnya di tabungan yang sama.
Maka bisa di bayangkan alangkah paniknya saya ketika ada isu uang yang tersimpan di bank terancam tidak kembali. Bersama-sama teman senasib yang sesama mahasiswa juga, kami mencoba mencari titik terang soal nasib tabungan kami tersebut. Di tengah hiruk-pikuk demonstrasi, kuliah dan rapat senat yang hampir tiap hari di gelar, seringkali kami tidak kebagian jam buka bank, atau kadangkala malah bank-nya yang memilih meliburkan diri hari itu karena di jalanan depan ada "hujan batu".
Akhirnya, dengan mengambil motto "biar lambat asal dapat" saya luangkan satu hari berdiri bergerombol bersama nasabah yang lain menunggu bank buka. Jarum jam sudah menunjuk pukul sembilan lewat seperempat, tetapi pintunya masih tertutup rapat. Nasabah yang tidak sabar mulai berteriak-teriak meminta pintu di buka. Semakin siang para nasabah semakin kesal, dan teriakannya jadi lebih lantang. Alhamdulillah pintu itu terbuka juga setelah jam 11 lewat beberapa menit. Nasabah pun berebutan masuk meminta giliran lebih dulu.
Ketika tiba giliran saya, saya putuskan uang tabungan saya ambil seluruhnya saja, mengingat betapa sulitnya saya hari-hari terakhir ini mengakses harta saya ini. Ternyata keputusan mengambil seluruh tabungan ini tidak hanya menjadi keputusan saya, karena sebagian besar nasabah rupanya punya pemikiran dan tentunya kesulitan yang sama dengan saya. Pihak bank pun ternyata sudah mengantisipasi situasi ini, dan mengambil keputusan agar para nasabah hanya di perbolehkan mengambil sebanyak-banyaknya 75% saja dari total tabungannya setelah di kurangi biaya administrasi. Maka ributlah lagi para nasabah mendengar keputusan itu karena dianggap merugikan. Pihak bank mencoba menerangkan kepada nasabah mengapa keputusan ini diambil. Bahwa kalau semua nasabah memilih mengambil seluruh dananya akan membahayakan perekonomian dalam negeri yang memang sudah gawat hari-hari terakhir itu. Pengambilan seluruh dana nasabah besar-besaran adalah momok paling menakutkan bagi bank, karena dana nasabah bagaikan oksigen bagi orang yang hidup. Bisa di bayangkan bagaimana manusia tanpa oksigen? Dan sebagian nasabah memaklumi, walau ada sebagian lagi yang tetap marah dan kecewa. Peduli apa kami pada nasib kalian, toh kalau kami kelaparan bank tidak kasih beras? Begitu salah seorang nasabah yang marah berseru. Suasana pun menjadi panas lagi.
Setelah beberapa lama, alhamdulillah akhirnya saya melangkah keluar dari bank tersebut dengan 75% tabungan saya. Tak apa, daripada tidak samasekali. Memang kondisi negeri sedang kacau. Mau diapakan lagi?
Selang waktu berikutnya kondisi Negara berangsur normal. Bank-bank pun mulai buka kembali. Anak-anak kembali bersekolah, dan perkuliahan masuk seperti biasa, walau yang di bahas di kelas antara mahasiswa dan dosen masih juga soal kondisi terakhir dan tukar menukar informasi. Terutama tentang teman-teman kami yang belum kembali ke kelas, siapa presiden berikutnya dan isu-isu semacam yang tak kalah serunya. Dan saya masih menyimpan dana saya di laci meja belajar di rumah. Belum terpikir hendak menyimpan di mana. Saya juga tidak terpikir untuk mengembalikan dana ke bank yang terdahulu, mengingat kesulitan yang saya alami ketika mengakses dana.