Lihat ke Halaman Asli

Rina Darma

Ibu Rumah Tangga

Sarung Kotak-Kotak

Diperbarui: 14 Mei 2020   23:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tebar Hikmah Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Untuk pertama kalinya, aku mendapat paket Tunjangan Hari Raya (THR) walaupun belum bekerja setahun penuh di perusahaan ini. Anehnya, aku mendapat satu buah sarung kotak-kotak yang tidak bisa aku identifikasikan warnanya. Abu-abu, nila, mungkin juga biru. Aku kan seorang perempuan? Kok sarung sih?

Pandanganku beralih kembali ke atas kasur. Mau diapain sarung itu. Buat Bapak saja di rumah? Ah, Bapak sarungnya sudah banyak dan setiap Ramadhan bakal menimbun sarung karena Bapak adalah penceramah. Atau dikasihin ke orang saja? Ah, tapi kok sayang. Ini kan bisa jadi kenang-kenangan. Buat selimut. Ya, buat selimut.

Nah, sebagaimana kebiasaan, aku bakal mencuci pakaian baru termasuk sarung ini. Katanya sih biar zat pewarna maupun bahan kimia yang dipakai pabrik tekstil larut. Jadi, aman digunakan.

Kos tempat aku tinggal terbagi menjadi dua lantai. Lantai satu untuk laki-laki dan lantai atas untuk perempuan. Begitu pula untuk tempat jemuran baju. Hanya satu garasi motor di dekat tempat jemuran cowok.

Sore itu, sepulang kerja dan memasukkan motor ke garasi, mataku menumbuk sarung kotak-kotak di tali jemuran cowok. Kenapa, sarungku bisa ada di sini, pikirku. Mungkin tadi terbang, karena dikira kepunyaan penghuni lantai satu makanya nyasar ke sini. Aku pun langsung menyomotnya begitu saja.

Untuk sampai ke kamarku, aku harus naik tangga melalui tempat jemuran cewek, dan melewati dua kamar. "Hei, baru pulang, Bi!" seru Lika dari dalam kamarnya tepat di kamar sebelahku.

Tanpa menjawab hanya menoleh dan tersenyum aku segera masuk. Pertanyaan retoris yang tak perlu aku jawab. Basa-basi.

Malam indah tanpa bintang di langit ibu kota. Aku kembali menatap magnet yang teronggok di salahsatu sudut kamar. Karena belum disetrika aku urung menjadikannya selimut. Aku terlalu malas untuk bangun mengambil jemuran baju lainnya. Lagian, jemuranku sudah biasa berlama-lama mejeng di sana sampai aku sempat mengambilnya. Mataku sudah terlalu berat.

--

Pagi itu, tak seperti biasanya, penghuni lantai satu melebihi penghuni lantai atasnya. Seakan mereka tengah berkerumun untuk bergosip. Pemandangan yang tak biasa. Mataku bertumbukan dengan mata seorang lelaki bersarung yang asing. Apakah bersarung sudah menjadi trend? Karena wakil presiden negeri ini pun bersarung? Sehingga aku pun mendapat THR berupa sarung?

Seperti biasa, usai melempar senyum basa-basi, aku pun melenggang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline