Lihat ke Halaman Asli

Menebar Harapan melalui Tradisi Baju Lebaran

Diperbarui: 21 Mei 2021   17:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kisah Untuk Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Beberapa hari sebelum lebaran, anak saya mendapatan baju baru. Bukan dari saya, tapi dari ibu saya. Ibu saya merasa kasihan kepada anak saya karena saya tak kunjung membelikannya baju baru. Sebenarnya bukan tidak mau membelikan. Saya hanya menunda, nanti setelah lebaran. Bagi saya tradisi baju baru sebelum perayaan lebaran bukanlah sebuah keharusan. Puasa, dan situasi pandemi adalah hal yang harus lebih dulu diprioritaskan, daripada memaksakan diri untuk membeli barang yang bisa kita beli di lain hari.

Singkat cerita, ibu saya membelikan tiga potong pakaian untuk anak saya. Berupa tunik, kaos dan celana jeans. Bentuknya yang unik, membuat anak saya yang tadinya tidak antusias menjadi tertarik. Dia mulai menyukai baju barunya itu. Saya tahu karena anak saya mencuci, menjemur dan menyetrika bajunya sendiri. Padahal biasanya dia mengikutsertakan bajunya bersama baju-baju yang lain di mesin cuci.

“Jadi inget jaman masih TK, punya baju baru sebelum lebaran?” gumam dia sambil menyetrika baju barunya.

Saya tertawa mendengar pertanyaannya. Saya ingat saat masih kecil, momen teristimewa bagi saya adalah memakai baju baru yang saya pakai saat shalat Ied di alun alun kota. Waktu itu saya merasa terlahir kembali sebagai manusia baru dengan memakai baju baru. Ada semacam kepercayaan, mengidentifikasikan bahwa Lebaran adalah klambi anyar.

Bertambahnya umur dan berbagai perubahan situasi membuat saya merubah paradigma lebaran tidak lagi identik dengan baju baru. Saya mengenalkan paradigma baru ini kepada anak saya. Dulu, saat dia kecil sempat saya mengenalkan hari raya Idul Fitri berarti baju baru, makanan-makanan tertentu, dan unjung-unjung dari satu rumah ke rumah yang lain.

Setelah anak saya semakin besar, kebutuhan akan baju baru jelang lebaran semakin berkurang. Perpindahan tempat tinggal dari desa ke kota, dan tuntutan pekerjaan membuat saya lebih mencari segi kepraktisan. Saya hanya membeli baju saat saya atau anak saya memang sedang benar-benar butuh. Itupun saya lebih suka memesannya secara online atau pergi ke mall.

***

Tepat seminggu sebelum lebaran, saya, Ibu, dan anak saya pergi ke sebuat pusat grosir. Kebetulan kami bertiga sedang tidak berpuasa. Ibu yang tidak bisa mudik, terpaksa melewati momen puasa dan lebaran bersama saya. Padahal biasanya ibu selalu menghabiskan saat lebaran di kampung bersama keluarga besarnya.

Ibu tidak pernah melewatkan momen lebaran tanpa membeli baju baru. Berbeda dengan saya yang lebih suka berbelanja baju di mall atau secara online, Ibu lebih suka membeli baju lebaran di pasar grosir biasa. Menurutnya beli di pasar itu menyenangkan. Pertimbangannya adalah mendapatkan harga yang lebih murah sehingga bisa membeli lebih banyak.

Salah satu pasar grosir pakaian di kota saya menjadi pilihan Ibu untuk membeli baju lebaran. Dalam bayangan saya jelang Idul Fitri tempat seperti itu pasti tidak nyaman, penuh sesak oleh orang-orang berbelanja pakaian. Tapi apa boleh buat, perintah Ibu bagi saya sudah seperti sabdo pandito ratu yang tak bisa saya tolak.

***

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline