Lihat ke Halaman Asli

Rizal Fauzi

Wartawan di www.tuntasmedia.com

Masih Pentingkah Kita Bicara NII?

Diperbarui: 26 Juni 2015   01:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Wow! NII jadi topik yang hangat lagi untuk dibicarakan sejak menghilang dan ditemukannya kembalidi masjid at-Ta’awun puncak Bogor dengan tampilan yang berbeda; bercadar dan lupa ingatan, lalu 9 orang mahasiswa Universitas muhamadiyah malang dilaporkan menghilang, Di lanjutkan dengan kesaksian para orang tua yang kehilangan anak-anaknya, eks-korban jaringan NII, pengamat, pembuat buku tentang NII, dan tentu saja makanan empuk para politisi yang “gila” popularitas.

Bola salju itu semakin membesar sejak media berlomba menjadikannya isyu baru untuk menarik perhatian pemirsa dari kasus-kasus besar yang tak pernah selesai; century, hak angket para “pembantu” kita, PSSI, Korupsi anggota dewan, pembangunan gedung dewan, dan kasus Melinda Dee yang memang “besar”. Tapi begitulah adanya. NII adalah komoditas penting untuk menggaet pemirsa, meski ujung-ujungnya pola kapitalis yang dijalankan; tak hirau mau dibawa kemana pola pikir masyarakat, yang penting iklan masuk dan media memperoleh laba berlipat!

Aih, sedih sekali kita sebagai rakyat selalu diombang-ambing dengan kisah-kisah besar, hingga kita larut ke dalam alur ceritanya yang heroik atau mengharu biru, meski selalu berakhir dengan kisah yang menggantung. Seperti orgasme yang tak sampai, berakhri dengan saling bertengkar dan menyalahkan. Ujung-ujungnya hanya satu; mandul sekali presiden, aparat, dan wakil-wakil kita!

Lagi-lagi NII

Menelisik sedikit sejarah idiologi bernegara di Indonesia, saya selalu terpukau pada sosok tokoh pendiri Syarekat Islam Indonesia, HOS Cokroamonoto. Dari tangannya yang dingin, lahir triple “S” (Soekarno, Semaun, dan SM kartosuwiryo)- yang kesemuanya menjadi tokoh-tokoh pergerakan, yang pemahaman bernegaranya menjadi penyemangat pengikutnya sampai saat ini.

Sisi Cokroaminoto yang nasionalis masuk ke pemikiran Soekarno, kecenderungannya pada sosialismenya dikembangkan oleh Semaun. sedangkan islamisme-nya diambil oleh SM kartosuwiryo.

Siapapun sepakat, sebab sejarah adalah milik penguasa, tak ada hak untuk Semaun dan SM Kartosuwiryo untuk tampil sebagai pahlawan dibuku-buku sejarah. Pada masanya. Pejuang dan pemberontak bisa saja ditukartempatkan oleh tangan kekuasaan. Tergantung siapa yang mempunyai hak kuasa pada republic ini. Meski pada akhrinya, Soekarno pun harus ikhlas memanen benih karma yang ia lakukan terhadap kawan-kawan seperjuangannya dimasa lalu..

Menyoal NII, sejatinya tidak sesederhana saat ini. Ada runutan sejarah yang sangat panjang yang mengiringinya. Setelah membaca buku sejarahnya made in pemerintah, ada baiknya jika kita membandingkannya dengan buku-buku yang ditulis oleh Alchaidar, mantan anggota NII.

Dalam bukunya yang berjudul Pengantar Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia SM.Kartosuwiryo, Alchaidar tampak jelas memaparkan sejarah perjuangan dan pemikiran kartosuwiryo secara detail. Bagaimana proklamasi kemerdekaan NII sudah disebarkan ke tokoh-tokoh pergerakan jauh sebelum diumumkannya proklamasi Negara Indonesia oleh Soekarno yang tergesa-gesa karena desakan tokoh-tokoh muda liberal.

Apa yang ditulis Alchaidar tak berbeda jauh dengan buku-buku yang ditulis oleh Irfan S. Awas yang diterbitkan oleh Pro U Media; Trilogi kepemimpinan NII (Menguak Perjuangan Umat Islam dan pengkhianatan Kaum Nasionalis-Sekuler) dan Jejak Jihad SM Kartosuwiryo. Isinya tetap sama, mengungkap sisi lain sejarah yang (sengaja) dilupakan, namun juga memberikan pengayaan pandangan dan opini bahwa keberadaan Negara Islam Indonesia tidaklah sesadis “Fakta Sejarah” yang berada dalam buku-buku sejarah di sekolah kita.

Intelijen Bermain?

Selalu saja rumit jika kita berhadapan dengan badan yang bebas warna dan multi tafsir ini, Badan Intelijen Negara (BIN). Tidak usah heran, sejatinya cetak biru BIN memang seperti itu.Tapi tidak juga menjadi badan super body yang luput kita kritisi keberadaan dan sepak terjangnnya. Atas alasan menjaga keutuhan bangsa dan Negara yang dikuatkan dengan undang-undang subversif BIN bebas masuk ke dalam semua lini masyarakat tak terkecuali NII pasca SM Kartosuwiryo.

Kurun waktu dari tahun 1970-1990, saat NII sudah memiliki basis masa yang kuat, struktur yang rapi, dan warganya sudah menyebar ke semua lini pemerintahan, BIN memang cukup efektif untuk menenggelamkannya dengan masuk ke dalam dan mengacak-acaknya dari dalam dengan caranya yang tentu saja multi tafsir. Hal ini yang kemudian diungkap juga oleh Al Chaidar di bukunya yang lain, 'Sepak Terjang KW9 Abu Toto Syekh A.S. Panji Gumilang Menyelewengkan NKA-NII Pasca S.M. Kartosoewirjo' menduga ada oknum intelijen yang melindungi.

Sekarang, saat NII hanya sebagai negeri imajiner yang didamba meski jauh dari jangkauan,lalu tokoh-tokohnya tercecer di lembaga-lembaga keislaman dan partai-partai, masihkah intelijen memakai logika yang sama seperti saat pertamakali memporak-porandakannya? Saya yakin tidak. Motif kepentingan lebih terasa daripada yang lainnya.

Bagaimanapun BIN adalah lembaga Negara yang bertanggungjawab terhadap presiden. Kepentingan kekuasaan cenderung lebih lihai memainkan perannya daripada keutuhan sebagai sebuah bangsa. Di Negara ini yang sekecil apapun kebijakannya tak pernah lepas dari intrik politik, maka penggarapan isyu untuk mengarahkan opini warganya agar selalu berada dalam kekuasaan adalah sebuah keharusan.

Sehingga kita akan terjebak dalam perbincangan NII yang tidak ada habisnya, sedang para teroris (penguasa yang juga seorang kriminal) bisa duduk manis sambil menghitung setiap keuntungan yang didapat, atau para wakil kita bisa nyenyak tidur sambil membayangkan panti pijat yang akan mereka bangun dari setiap tetesan keringat rakyat di kantornya yang baru nanti!

Ah masih pentingkah kita bicara NII? Sedang, persoalan rasa memiliki terhadap bangsa ini pun di lingkaran kekuasaan begitu mengkhawatirkan!

* Redaktur www.rumahdunia.com,

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline