Boleh? Tidak? Boleh? tidak? Ibarat menghitung kancing menjawab pertanyaan itu. Mudik tahun ini sebenarnya dibolehkan atau tidak? Pertanyaan ini yang bergelayut di kepala calon pemudik dan keluarga di kampung. Diawali dengan pemberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang berujung dengan pelarangan untuk mudik.
Hal ini tentu saja menimbulkan beragam reaksi di masyarakat. Diskusi panjang tentang mudikpun berlangsung dari grup ke grup media sosial. Mulai dari etimologi kata mudik, esensi mudik, sampai dampak dari pelaksanaan mudik. Sekarang kita semua menyadari betapa pentingnya mudik.
Dan tidak mudah untuk mengurus persoalan mudik. Bahkan untuk memutuskan mudik dibolehkan atau harus dilarang saja memerlukan deretan peraturan. Mulai dari Presiden, Menteri, sampai kepada pengamat, dan praktisi bersuara soal ini.
Sedemikian mewahkah mudik saat ini sehingga tidak semua orang bisa memperolehnya? Jika dipandang dari segi bahasa boleh jadi demikian adanya. Mengacu kepada Kamus Umum Bahasa Indonesia, mewah berarti serba indah, serba berlebihan, tentang cara hidup yang menyenangkan.
Namun tidak sepenuhnya benar. Mudik memang mengandung keindahan spritual yang tidak tergantikan. Bertemu dengan orang tua dan sanak saudara menimbulkan keindahan luar biasa dihati. Namun untuk konotasi menyenangkan perlu dipertanyakan lebih lanjut. Perjalanan yang sulit ketika melaksanakan mudik apalagi untuk saat ini tidak bisa dikatakan sebagai sesuatu yang menyenangkan. Penjagaan demi penjagaanpun dilakukan.
Berita tentang pemudik yang disuruh putar balik oleh petugas terdengar dimana-mana. Pihak kepolisian yang sebelumnya berjaga melalui operasi ketupat agar pemudik dapat melakukan perjalanan dengan aman dan nyaman pada saat mudik lebaran, sekarang malah berbalik menghalangi pemudik agar tidak beranjak dari daerah tempat tinggal mereka selama ini. Tidak ada yang menyalahkan. Karena mereka menjalani tugasnya sesuai perintah.
Sebetulnya pada saat peraturan pelarangan mudik dikeluarkan mulai 24 April 2020 yang lalu, masyarakat secara umum sudah dapat menerima. Masyarakat memahami proses pembatasan mudik sebagai bagian dari pemutus mata rantai penyebaran Covid-19.
Terkecuali bagi mereka yang sudah tidak mempunyai sumber penghasilan di daerah tempat tinggal mereka semula. Apakah itu karena PHK atau roda usaha yang selama ini mereka lakoni tidak lagi menghasilkan pundi-pundi.
Memang dilematis ketika tetap berkeras mempertahankan mereka tetap ditempat, sementara asupan logistik yang mereka punyai sudah menipis. Hal ini menjadi sisi lain dari pelarangan mudik.
Pelarangan mudik ini bahkan mendapat apresiasi dari masyarakat terhadap pemerintah sebagai bentuk pengayoman kepada masyarakatnya. Walaupun suara-suara tidak puas tetap bergema dimana-mana. Masyarakat sudah mulai menyusun strategi dan rencana bagaimana menjalani lebaran tanpa mudik.
Mulai membayangkan pada saat lebaran nanti melakukan sungkeman kepada orang tua melalui video call, bertemu teman-teman menggunakan teleconverence, atau sekedar berkirim dana sebagai tanda perhatian untuk saudara di kampung. Mirip-mirip yang dicontohkan iklan di televisi.