Kebijakan mobil murah yang dikeluarkan pemerintah menuai banyak kontroversi. Patut untuk dipertanyakan. Kebijakan pemerintah SBY yang lahir cepat ini sepertinya tidak memiliki dasar pemikiran yang kuat. Himbauan untuk hemat menggunakan BBM (Bahan Bakar Minyak) Subsidi dan pemecahan masalah kemacetan sepertinya kontraproduktif dengan kebijakan yang satu ini.
Kontroversi mobil murah berawal dari adanya Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2013 tentang Insentif Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) bagi Produksi Mobil Ramah Lingkungan. Dengan peraturan itu, mobil dengan kapasitas di bawah 1.200 cc dan konsumsi bahan bakar minyak paling sedikit 20 kilometer per liter dapat dipasarkan tanpa PPnBM.
Konsep mobil murah atau yang lebih popular dalam istilah global Low Cost Green Car (LCGC) atau mobil murah ramah lingkungan. Nampaknya tidak memiliki urgensi terhadap kebutuhan masyarakat kelas menengah akan adanya mobil murah. Terkesan dipaksakan dan sangat parsial, tanpa mempertimbangkan dengan matang aspek yang lain. Akibatnya, makin meningkatkan kompleksitas masalah nasional khususnya, kebutuhan energy, mengurai kemacetan sampai persoalan jati diri bangsa ini.
Pernyataan pemerintah yang mengatakan untuk memberikan kesempatan kepada rakyat kecil untuk membeli mobil murah sungguh sangat tidak mendasar dan cenderung dangkal. Rakyat kecil tidak memerlukan mobil murah yang hanya akan menimbulkan masalah ekonomi yang baru, karena akan dibebani selain biaya bahan bakarnya, pajak tahunan dan biaya pemeliharaannya. Rakyat hanya butuh kehadiran pemerintah untuk menjamin hak setiap warga Negara yang tertulis dalam UUD 1945.
Munculnya penolakan kebijakan ini dapat dipahami sebagai kebijakan yang sulit dimengerti. Bahkan, telah muncul petisi menolak kebijakan mobil murah ini digalang oleh Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) melalui situs petisi online di change.org.
Menarik untuk mengetahui apa sebenarnya yang menjadi tujuan kebijakan ini. Menurut pemerintah, yang disampaikan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa tujuan LCGC adalah untuk: Mengurangi konsumsi bahan bakar minyak, mewujudkan komitmen pemerintah mengurangi 26 persen efek gas rumah kaca pada 2020 dan memperkuat industri otomotif Indonesia.
Pengurangan Konsumsi BBM
Kehadiran LCGC bertentangan dengan program pemerintah yaitu mengurangi penggunaan subsidi BBM, karena yang menggunakan LCGC adalah masyarakat menengah. Bisa jadi, penggunaan LCGC dapat meningkat penggunaan BBM bersubsidi.
Masyarakat belum sepenuhnya menyadari dengan membeli mobil, mereka akan membeli BBM. Tingkat konsumtif masyarakat Indonesia hari ini lebih tinggi ketimbang tingkat kesadaran hukum, sehingga adanya LCGC hanya akan meningkatkan daya konsumsi masyarakat.
Berkembangnya populasi ekonomi menengah di Indonesia tentunya akan menjadi peluang pasar yang menggiurkan. Sekaligus, bila tidak dikelola dengan baik akan menjadi masalah akan membengkaknya konsumsi BBM bersubsidi. Tentunya kalau pemerintah menyadari hal ini, pasti akan berhati-hati menjalankan kebijakan ini.
Murahnya harga mobil jenis LCGC juga akan menyebabkan sebagian pengguna sepeda motor akan beralih ke mobil murah tersebut. Apabila ini terjadi, maka konsumsi BBM sudah bisa dipastikan meningkat.
Walaupun kementerian perindustrian merekomendasikan LCGC menggunakan BBM non subsidi. Namun, karena sifatnya imbauan, pihaknya tidak bisa memaksa pemilik kendaraan menggunakan BBM non-subsidi. Kenyataan dilapangan tentu tidak selalu sama dengan kebijakan dia atas kertas. Sesuai dengan peruntukannya, sangat logis para pengguna mobil murah lebih memilih BBM bersubsidi ketimbang yang non-subsidi. Namanya juga mobil murah, pasti BBM-nya mengejar yang murah juga.
Konsumsi BBM dalam negeri yang sudah mencapai 1,3 juta barel per hari, padahal kapasitas produksi migas Indonesia hanya 827-840 ribu barel per hari. Konsekuensinya, defisit yang kemudian berpengaruh negatif ke neraca perdagangan Indonesia. Solusi atas segala dilema harus dicari bersama dengan masyarakat dan tidak melemparkannya hanya kepada pemilik industri automotif.
Kesadaran Lingkungan
Mobil murah yang digunakan di Indonesia hari ini bukanlah mobil yang bercirikan berwawasan lingkungan. Mobil murah ini masih menggunakan BBM sebagai bahan bakarnya, bensin dari minyak bumi, bukan biofuel, elektrik atau jenis hibrida. Berbeda dengan mobil listrik dan system hibrida yang marak dikembangkan di luar negeri. Kenyataannya, minimnya sarana dan prasarana pendukung serta mahalnya teknologi yang digunakan untuk mobil listrik atau hibrida membuat mobil murah di Indonesia belum berwawasan lingkungan.
Ukuran cc mobil saja yang diperkecil. Polusinya sama, bahkan akan meningkat jika semakin banyak mobil yang turun ke jalan. Ketergantungan Indonesia pada impor minyak bumi juga sama. Apakah akan menguntungkan dari segi ekonomi? Dalam jangka pendek, kepentingan Indonesia adalah memperbaiki neraca berjalan dan neraca perdagangan yang terus defisit.
Mobil murah ini juga bertentangan dengan diplomasi Indonesia yang selama ini berkomitmen untuk mengedepankan prinsip pembangunan berkelanjutan yang ramah lingkungan. Penggunaan LCGC tidak menjamin mengurangi 26 persen efek gas rumah kaca, karena pengaruh mobil sangat kecil ketimbang menjamurnya pembangunan gedung-gedung pencangkar langit. Untuk mengurangi efek gas rumah kaca, pemerintah lebih baik memperbanyak ruang terbuka hijau, taman-taman kota dan melakukan penghijauan.
Coba bayangkan, walaupun masyarakat dapat membeli mobil murah pada saat ini, tetapi selanjutnya mobil itu tidak bisa dipakai karena bahan bakar yang semakin mahal karena pajak lingkungan. Keputusan menerima risiko-risiko tadi akan berakhir di tangan Presiden SBY. Seharusnya pemerintah memberikan jawaban dengan transportasi murah, sebagaimana digaungkan oleh roadmap green economy, bukan mobil murah.
Mengurai Kemacetan
Belum selesai pemerintah membereskan masalah kemacetan yang membuat pusing pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah harus menempuh cara-cara sulit dan tidak populis. Membiarkan kebijakan mobil murah ini berlangsung ditengah-tengah kompleksitas masalah transportasi yang satu ini makin menambah daftar masalah baru.
Meningkatnya penggunaan kendaraan motor roda empat ini akan berdampak kepada perubahan lingkungan, seperti kemacetan lalu lintas. Sampai sekarang, pemerintah dinilai masih belum dapat jurus yang ampuh untuk mengurai kemacetan yang semakin menjadi-jadi akibat tidak adanya perencanaan yang baik dengan masa depan transportasi dan lalu lintasnya di republik ini.
Pemerintah dalam mengurai masalah ini, sebaiknya memperbaiki layanan transportasi publik yang lebih aman dan nyaman dan memperketat aturan penggunaan mobil pribadi serta penegakannya. Carut marut kondisi layanan transportasi publik harusnya menjadi perhatian yang serius, daripada memperkeruh masalah transportasi kita dengan kebijakan aneh ini.
Walaupun ada beberapa keuntungan yang disebutkan dari kebijakan ini diantaranya, harga mobil yang lebih murah dan irit, dalil perbaikan sektor ekonomi, dan penyerapan tenaga kerja semata-mata hanya untuk melanggengkan praktek neoliberalisme.
Ceruk pasar 250 juta rakyat Indonesia hanya akan menjadi komiditi asing, bila memakai mindset pemerintah seperti ini. Alangkah lebih baiknya, rakyat diajarkan untuk menjadi bangsa yang produktif dan selektif memenuhi kebutuhannya dibanding menjadi bangsa konsumtif. Sebuah anomali, kesesatan kolektif dari pola pikir pemerintah kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H