Lihat ke Halaman Asli

Melawan Serangan Fajar

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="523" caption="Headline Kotaksuara.kompasiana.com | Uang Pecahan Seratus Ribu Rupiah / Kompasiana (Kompas.com, Kristianto Purnomo)"][/caption]

Masa tenang dalam pemilihan umum sepertinya tidak berlaku bagi para Calon Legislatif (Caleg) dan antek-anteknya untuk berhenti “bekerja”. Bahkan, melalui jalan-jalan “bawah tanah” (underground) dan ilegal. Para petualang politik—politisi korup—tentunya akan menggunakan “senjata” andalannya, untuk bisa mencuri hak suara rakyat di saat-saat terakhir pemilihan. Sesuatu yang harus selalu diwaspadai dari pesta demokrasi. Apalagi kalau bukan, serangan fajar.

Istilah “Serangan Fajar” adalah istilah yang diadopsi dari cerita peperangan populer tempo dulu. Dengan cara menyerang lebih dulu pihak lawan, dengan segenap kekuatan yang ada, pada saat pihak lawan biasanya belum melakukan persiapan yaitu saat fajar baru menyingsing. Salah satu taktik konvensional, yang terbukti cukup ampuh untuk menaklukkan lawan.

Dalam konteks politik, serangan fajar menjelma menjadi sebuah momok yang cukup menakutkan untuk “membunuh” secara berlahan sistem demokrasi yang dianut sebuah negeri. Serangan fajar memiliki konotasi negatif. Bagaimana tidak, serangan fajar yang dilakukan para calon politisi digunakan untuk membeli suara rakyat dengan iming-iming materi. Mulai dari memberi uang, pemberian Sembako (Sembilan Bahan Pokok) dan lain sebagainya—bentuknya tergantung kreatifitas si caleg sesuai dengan tuntutan jaman. Contohnya, voucher pulsa--.

Parahnya lagi, dengan memanfaatkan situasi yang ada sekarang ini. Ada-ada saja caleg yang menggantungkan nasibnya hanya bermodalkan serangan fajar. Melalui kalkulasi politik dan penganggarannya serta pengalaman adalah alasan untuk tetap “efektif dan efisien” dalam pertarungan. Namun tipe politisi seperti ini, tidak patut untuk dicontoh/dipilih karena sama sekali tidak memiliki kepekaan sosial untuk memberikan pendidikan politik yang benar. Hanya berpikir untuk menang tanpa berpegang pada azas kemanfaatan (aspek sosial politik).

Ada yang menarik belakangan ini. Di beberapa tempat telah berdiri posko-posko yang bertuliskan “Menerima Serangan Fajar”. Sekilas, masyarakat yang membaca berpikiran bahwa tempat tersebut benar-benar bertindak sebagai tempat atau semacam kordinator untuk memudahkan para caleg untuk menjalankan serangan fajarnya. Sungguh Ironi. Namun, bila kita lihat maksud dan tujuannya lebih dalam. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengkritik para calon pemimpin yang suka melakukan praktek serangan fajar. Karena sejatinya, praktik serangan fajar bisa dikategorikan sebagai tindakan yang bertentangan dengan hukum.

Halalkan Berbagai Cara?

Sulit untuk dibayangkan, gempuran para calon legislatif kedepan yang berusaha untuk meraup suara sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan rambu-rambu yang ada. Selalu menghalalkan berbagai cara untuk bisa menang, walaupun harus mengorbankan orang lain bahkan demokrasi itu sendiri. Persis prinsip pandangan, pemikiran dan praktik-praktik Machiavelli “menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan” (The end justifies the means) dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kekuasaan.

Pemilihan legislatif 9 April 2014 mendatang, masyarakat akan dihadapkan dengan persoalan menentukan pilihan untuk DPR Pusat, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dan DPD RI. Ada empat pilihan yang harus ditentukan masyarakat ditengah-tengah ratusan caleg yang bertebaran dimana-mana. Untuk tetap menjadi pemilih rasional, masyarakat harus diperhadapkan lagi dengan godaan atas serangan fajar (politik uang). Hanya dengan pemahaman yang kuat dan benar, masyarakat tak tergoda dengan serangan fajar.

Serangan fajar dapat dikelompokkan ke dalam kejahatan pemilu yaitu politik uang (money politic). Ditambah lagi, suasana kebatinan masyarakat yang begitu apatis dan permisif terhadap para kontestan pemilihan legislatif yang akan dihelat pada tanggal 9 April 2014 nanti. Situasi demikian menjadi sasaran empuk untuk serangan fajar itu sendiri.

Masyarakat boleh jadi tidak menyadari begitu berharganya hak suara (hak politik) yang mereka punya untuk merubah nasib mereka. Pernahkah kita menyadari, hak suara yang diberikan Negara ini yang diamanatkan dalam konstitusi kita yaitu UUD NRI 1945 begitu istimewa? Istimewanya, baik kita warga Negara Indonesia yang kaya atau miskin, pintar atau bodoh, besar atau kecil, kita sama-sama diberikan hak suara yang sama dimata hukum. Sebuah kenyataan yang harus kita manfaatkan sebaik mungkin.

Masyarakat tidak boleh menggadaikan hak suaranya hanya untuk uang recehan. Hak suara kita teramat berharga untuk ditukarkan dengan sejumlah nominal rupiah. Bayangkan akibat, pesta demokrasi kita yang memenangkan para caleg (pemimpin) melalui serangan fajar. Tak banyak perubahan yang bisa kita harapkan dari para caleg tersebut. Otomatis, biaya pertarungan politik (cost politic) yang mereka keluarkan melalui cara-cara yang tidak benar, akan mereka kembalikan lagi dengan cara-cara tidak benar alias korupsi. Apakah kita mau?

Menagih Pengawasan

Persoalan klasik yang selalu terjadi dalam setiap pemilihan umum baik mulai dari pemilihan presiden, wakil rakyat, kepala daerah sampai kepala desa rawan dengan politik uang. Serangan fajar menjadi contoh betapa akrabnya masyarakat dengan manuver sesat para politisi. Hampir menjadi keniscayaan bahwa dalam setiap pemilu, pasti saja ada pasukan-pasukan serangan fajar—yang bersiap untuk menukarkan hak suara rakyat dengan materi--. Potret demokrasi yang minim edukasi.

Panitia pengawasan pemilu harus ekstra kerja keras melakukan pengawalan atas serangan fajar. Bermodalkan berita yang terbaru dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang akan menerjunkan sejuta pengawas pemilu. Harusnya serangan fajar tidak perlu terjadi kedepan. Kalaupun, masih saja ada caleg yang berani untuk melakukan serangan fajar. Panitia pengawas harus menindak dengan tegas, tidak hanya “anak buah” bahkan caleg terkait. Terlebih apalagi ada indikasi partai politik terlibat didalamnya.

Kenyataannya, panitia pengawas pemilu di negeri ini masih terlalu lembek dalam menindak para pelaku politik uang. Sangat jarang kita temui bahkan tak pernah, panitia pengawas pemilu berhasil menindak secara tegas pelaku politik uang sampai ke aktor intelektualnya (who is man behind the gun). Masyarakat butuh pelajaran nyata dari lapangan. Sehingga kelak akan menimbulkan efek jera. Apalagi bila kita menyoal lebih dalam, panitia pengawas pemilu hari ini bila mampu melakukan tindakan pencegahan (preventif), menjawab tantangan politik uang kontemporer. Fenomena klasik yang harus dilawan.

Sikap Kita

Dalam menanggapi serangan fajar. Kalau ada yang mengatakan “Ambil uang, jangan pilih caleg/pemimpinnya!”. Harus kita cermati lebih dalam dan serius. Mengambil uang dari caleg, tentu akan membuat politik uang tersebut akan tetap subur. Walaupun menimbulkan efek jera pada caleg yang melakukan politik uang.

Hal yang progresif dan radikal positif. Alangkah baiknya apabila kita mampu berkata dan melakukan “Tolak uangnya dan jangan pilih calegnya!”. Sebab dengan prinsip seperti ini kita boleh berdikari (berdiri dibawah kaki sendiri) dalam menentukan pilihan kita. Tanpa, dihantui “perasaan tak enak” dengan pemberi uang.

Semoga dengan prinsip demikian. Kita semua boleh menantikan perubahan yang kita impikan. Akhirnya, yang terbaiklah yang akan menang (primus inter pares). Sebuah usaha melawan serangan fajar. Selamat menentukan kemerdekaan menentukan pilihan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline