Lihat ke Halaman Asli

Ketika Rangkap Jabatan Menjadi 'Trend' Pada Praja

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada hari jumat kemarin, saya bersama teman-teman saya di FKP (Forum Kajian Praja) membahas mengenai 'rangkap jabatan'. Menurut saya, tema kajian pada saat itu merupakan tema yang menarik karena hal itu terjadi saat ini.Untuk kali ini, saya membahas mengenai rangkap jabatan yang menjadi 'trend' di kampus saya.

Contoh kecilnya seperti yang teman saya alami bernama Asdi. Dia memegang jabatan sebagai ketua barak, pemimpin redaksi lembaga pers praja, bahkan sampai menjadi Bupati di satuan saya, Nindya Praja. Saya sempat bertanya padanya, apakah tidak capek memiliki tiga jabatan sekaligus? Asdi hanya berkata, "Saya hanya menjalankan amanah yang diberikan dari teman-teman dan senior saya."

Lain halnya dengan senior saya bernama Jatnika. Kang Jatnika (sapaan dari junior-juniornya) memiliki rangkap jabatan sebagai seorang Lurah sekaligus Koordinator Dinas Pendidikan, Pelatihan dan Pengembangan. Akan tetapi, ketika sudah terpilih menjadi kepala dinas, Kang Jatnika lebih memilih jabatan kepala dinas daripada lurah dikarenakan ingin lebih fokus di dinas pendidikanserta passion-nya di bidang pendidikan akademik bagi Praja.

Seseorang dipilih menjadi seorang pemimpin oleh masyarakat berarti ada rasa kepercayaan yang besar pada seseorang tersebut. Rasa percaya bahwa pemimpin yang mereka pilih ini dapat menyuarakan aspirasi mereka. Kharisma kepemimpinan, kinerja baik, serta profesional di bidangnya yang menjadi faktor utama masyarakat percaya kepada seseorang tersebut. Rangkap jabatan bisa terjadi demikian, seperti contoh di atas. Seseorang dipilih menjadi ketua barak ataupun menjadi bupati dikarenakan kepercayaan yang begitu besar dari masyarakat praja.

Akan tetapi, rangkap jabatan juga memiliki efek negatif, yakni terlalu banyaknya fokus tupoksi yang dilaksanakan. Untuk seseorang yang tidak terbiasa multitasking, hal ini bisa membuat seseorang yang memiliki rangkap jabatan bisa pusing tujuh keliling. Ada teman saya yang mengalami efek ini. Dia sering curhat pada saya jika dia mendapatkan tugas-tugas yang bertubi-tubi sebagai koordinator di instansi dan unit yang berbeda, itupun belum tugas pribadinya di bidang akademik maupun pengasuhan.

Kesimpulan yang saya dapatkan dari pembahasan kemarin adalah rangkap jabatan itu tidak salah, hanya saja bagaimana caranya kita yang memiliki rangkap jabatan tersebut dapat membagi waktu untuk menjalankan tupoksi jabatan yang diemban tanpa melupakan kewajiban utama sebagai seorang praja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline