Keluarnya Putusan MK No. 35 Tahun 2012 tentang hutan adat yang menyatakan hutan adat bukan lagi hutan Negara, merupakan stimulan terhadap pengelolaan hutan yang arif dan berkeadilan dengan mengedepankan hak-hak masyarakat adat serta mempertahankan kearifan lokal dalam pengelolaan hutan yang telah dijaga berdasarkan aturan adat secara turun temurun.
Dikukuhkannya hutan adat di beberapa daerah di seluruh Indonesia oleh Pemerintahan Daerah dengan diterbitkannya Surat Keputasan Bupati merupakan langkah maju dalam mengimplementasikan putusan MK tersebut. Penetapan hutan adat ini tetunya sangat penting bagi masyarakat yang berada disekitar hutan sehingga hak-hak masyarakat atas wilayah ataupun hutannya mendapatkan kepastian secara konstitusional.
Penulis berpendapat bahwa semua Pemerintah Daerah haruslah segera melakukan Indentifikasi masyarakat adat atau wilayah adat ataupun tanah ulayat, sebagai upaya mengatisipasi sejak dini konflik yang tenurial yang diakibatkan dari tumpang tindih antara izin konsesi perusahaan berskala besar dengan wilayah adat, namun bila telah terjadi hal perebutan hak kelola kawasan hutan maka mau tidak mau, suka tidak suka, pemerintah harus menjadi jembatan bagi masyarakat sekitar hutan untuk mengeluarkan hak adat, tanah ulayat atau wilayah adat tersebut.
Menurut penulis bahwa pembangunan kehutanan melalui pengembangan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat dengan skema hutan adat disamping dibutuhkan pengakuan namun juga dibutuhkan perlakuan terhadap eksistensi kawasan hutan adat. Perlakuan yang dimaksud adalah pertama, pengelolaan yang dilakukan dengan mengedapankan azas kelestarian kawasan hutan adat dengan memperhatikan tata hutan sesuai zonasi yang telah ditetapkan dan aturan-aturan berlaku dalam hal pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (HHK) dan Hasil Hutan Bukan Kayu sehingga dapat bersinergis antara manfaat ekonomi dan ekologi atas keberadaan kawasan hutan. Kedua, adanya semangat untuk menjaga kelangsungan fauna dan flora yang terdapat di kawasan hutan adat dan menyadari sebagai kekayaan hayati yang terkandung dalam hutan adat. Ketiga, peningkatan kapasitas kelembagaan di tingkat tapak terkait pengelolaan kawasan hutan adat serta sinergisitas dengan pemerintahan. Keempat, mengoptimalkan fungsi hutan sebagai tujuan wisata sebagai manfaat jasa lingkungan yang dikelola langsung oleh masyarakat atau kelompok pengelola hutan adat.
Oleh karena itu, dukungan dari pemerintah untuk mendorong pengelolaan hutan berbasis masyarakat sangat diharapkan, Putusan MK No. 35 tentunya harus disambut baik oleh Pemerintahan Daerah dengan menyempurnakannya melalui aturan turunan atau produk hukum terkait pengelolaan hutan berbasis masyarakat seperti Peraturan Daerah atau Peraturan Bupati yang akan menjadi payung hukum dan dasar atas hak kelola masyarakat serta sebagai resolusi dari konflik tenurial. Namun, dengan telah mengeluarkan dua SK (Surat Keputusan) penetapan hutan adat oleh Bupati Sarolangun semoga ini dapat menjadi inspirasi yang baik bagi bupati di daerah lain untuk melakukan hal serupa.
Salam Lestari;
Riko Kurniawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H