Wajah sekolah yang damai, ramah dan menyenangkan kembali terkoyak. Kabar perkelahian guru dan murid di Bojonegoro beberapa hari lalu, mengulang potret hitam dunia pendidikan. Ditambah pula kasus pengeroyokan terhadap Audrey siswi SMP di Pontianak. Semakin terlihat borok pendidikan di Indonesia.
Postingan kritik dan amarah terhadap kasus itu pun memenuhi ruang dunia maya. Mulai dari guru, pemerhati pendidikan, orang tua, penegak hukum sampai mahasiswa ikut ambil peran. Tidak sedikit dari pendapat yang menilai kasus seperti itu sebagai sinyal perubahan perilaku anak zaman sekarang. Dimana perilaku santun tidak jadi perhatian.
Banyak pula yang menilai sebagai perubahan kurikulum. Dimana beban pelajaran terlalu dominan pada materi akademik saja. Tidak memberikan muatan lain yang menjadi karakter anak didik.
Ada pula yang memberikan pendapat kesalahan konsep pendidikan moral. Pelajaran moralitas yang dibebankan pada pelajaran PPKN atau sejenisnya sudah salah kaprah. Begitu juga materi pendidikan agama yang lebih bersifat ritual saja.
Memperkuat semua itu perlu bersama melihat data kekerasan di sekolah. Komisi Perlindungan Anak Indonesia pada tahun 2018 mencatat 84 persen anak di sekolah mengalami kekerasan. Pelaku dan korbannya bisa dari semua lingkungan sekolah. Baik guru, tenaga kependidikan, murid dan lainnya.
Dalam data tersebut 40 persen siswa usia 13-15 tahun melaporkan pernah mengalami kekerasan fisik teman sebaya. Sedangkan 50 persen anak melaporkan mengalami perundungan di sekolah. Bahkan 75 persen siswa mengaku pernah melakukan kekerasan di sekolah.
Membaca UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tergambar jelas konsep pendidikan sebenarnya. Pendidikan yang dimaknai sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran itu bertujuan untuk mengembangkan potensi diri peserta didik. Baik potensi spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Berbekal batasan tersebut konsep pendidikan berkarakter pun terlahir. Konteks pendidikan karakter pun diterjemahkan dan tertuang pada Perpres Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Pemaknaan pendidikan karakter terjabar dalam tiga pendekatan. Yakni pendidikan formal, nonformal dan informal. Ketiganya memiliki pelaku dan tempat nya yang berbeda-beda.
Sayangnya fokus pendidikan karakter hanya tertuju pada pendidikan formal, yakni sekolah. Semua pihak menyalahkan sekolah sebagai tempat yang bertanggung jawab penuh terhadap pengembangan dan penguatan karakter anak didik. Padahal pendidikan karakter lebih banyak hadir pada ruang informal, yakni keluarga dan masyarakat.
Keluarga tempat pertama pendidikan dibangun, justru sibuk dengan persoalan lain. Orang tua yang menjadi contoh pendidikan, malah gagal memberikan perannya. Begitu pula lingkungan sekitar yang memilih diam dan acuh. Bahkan tidak mau terlibat dalam pendidikan karakter anak.
Lebih mengecewakan lagi Perpres Nomor 87 Tahun 2017 hanya membahas pendidikan informal dalam satu pasal saja. Tertuang pada pasal 11 yang tidak pula secara detail membahas keterlibatan keluarga dan lingkungan dalam penguatan karakter. Sehingga regulasi ini menjadi lumpuh pada sisi lain.