by dr.Riki Tsan,SpM ( mhs STHM MHKes-V )
Beberapa waktu yang lalu, saya mengikuti sebuah webinar melalui aplikasi zoom meeting yang membicarakan tentang Informed Consent , dengan pembicara tunggal ,Brigjen TNI Dr.dr.Andreas Andri Lensoen,SpB.TKV(K)-VE,SH,MH.
Salah satu isu yang dilontarkan oleh Dr.Andreas adalah bahwa Informed Consent dapat digunakan sebagai alasan penghapus pidana yang juga merupakan judul buku yang beliau tulis.
Bahwa IC dapat dijadikan sebagai alasan penghapus pidana merupakan hal yang benar benar baru dan buat sebagian orang pandangan semacam ini ini dianggap 'lebay' alias berlebih lebihan, karena - katanya- alasan alasan penghapus pidana itu telah termaktub secara 'leterlek' ( letterlijk ) atau secara tekstual di dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP).
Informed Consent tidak termasuk di dalamnya,atau dengan perkataan lain tidak bisa dijadikan sebagai alasan penghapus pidana
Tentu saja siapapun bebas berpendapat apa saja sepanjang pendapatnya itu didukung dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Saya akan mencoba menelusuri dan memahami isu IC sebagai penghapus pidana lewat beberapa literatur yang sampai ke saya terkait dengan isu tersebut.
INFORMED CONSENT
Pertanyaan pertama yang perlu kita ajukan ialah, seperti apa sebetulnya 'sosok makhluk' yang disebut sebut dengan Informed Consent itu ?.
Consent diterjemahkan dengan 'persetujuan atau keizinan', sedangkan informed diartikan 'telah terinformasi atau telah dijelaskan'. Maka, secara etimologis, Informed Consent berarti persetujuan atau keizinan setelah adanya penjelasan.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) nomor 585 tahun 1989 tentang Persetujuan Medik dan nomor 290 tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran , Informed Consent (IC) dapat kita definisikan sebagai persetujuan atau izin yang diberikan oleh pasien (atau yang mewakilinya) kepada dokter untuk melakukan tindakan medis atas dirinya, setelah dokter memberikan informasi atau penjelasan yang lengkap tentang tindakan tersebut.
Berdasarkan Undang Undang Kesehatan nomor 17/2023 pasal 293, persetujuan atau keizinan ini wajib diperoleh dari pasien sebelum dokter melakukan tindakan medis.