Pengurus Pusat Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami) menugaskan saya untuk menghadiri Rapat Pleno Diperluas Pengurus Besar (PB) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pada tanggal16 April 2016 di Hotel Lumire, Jakarta. Rapat Pleno Diperluas ini, selain dihadiri oleh para Ketua Wilayah IDI, juga diikuti oleh para Ketua Perhimpunan yang bernaung di bawah organisasi IDI
Agenda pokok dari Rapat Pleno Diperluas ini adalah membicarakan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Pelaksanaan Undang-Undang No. 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran (Dikdok) ,khususnya yang terkait dengan Dokter Layanan Primer (DLP) serta pembahasan draf Permenkes tentang dukungan bantuan untuk P2KB yang berhubungan dengan gratifikasi dan sponsorship buat para dokter.
Rapat Pleno Diperluas PB IDI
Berkaitan dengan eksistensi DLP dan rencana fakultas kedokteran di Indonesia untuk membuka program pendidikan DLP, IDI dihadapkan kepada posisi yang serba salah.
Pada mulanya, IDI secara tegas dan jelas menolak DLP. Seperti yang disampaikan oleh Ketua PB IDI ,Prof Dr Ilham Oetama Marsis, SpOG kepada para wartawan, ada 3 alasan yang menyebabkan IDI menolak DLP.
Pertama. Dalam Muktamar XXIX di Medan, 18-22 November 2015 yang dihadiri oleh perwakilan dokter seluruh Indonesia, IDI secara mufakat telah menolak konsep pendidikan Dokter Layanan Primer (DLP).
Dokter Layanan Primer dinilai akan memberatkan calon dokter dan dianggap merendahkan serta meragukan kompetensi dokter umum yang melaksanakan pelayanan kesehatan di fasilitas pelayanan primer. Disamping itu, kesepakatan di forum Muktamar IDI menganggap bahwa Perhimpunan Dokter Layanan Primer Indonesia yang sudah berdiri tidak diakui keberadaannya sebagai Perhimpunan Dokter dibawah naungan IDI. Hal ini akan berdampak pada konsekuensi profesi seperti yang diatur dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dalam kaitannya dengan pengakuan dan rekomendasi izin praktik yang pada akhirnya akan merugikan masyarakat.
Kedua. Kata Dokter Layanan Primer (DLP) sesungguhnya telah termaktub di dalam Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) tahun 2012 sebelum lahirnya Undang Undang Pendidikan Kedokteran. SKDI telah disusun oleh PB IDI bersama sama dengan Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia (PDKI) dan Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI) serta disahkan Konsil Kedokteran Indonesia.
Hal inilah yang menjadi landasan hukum atas pengakuan kompetensi lulusan dokter baru melalui Uji Kompetensi dan penjagaan kompetensinya lebih lanjut setelah 5 tahun melakukan praktik kedokteran melalui program Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB).
Dokter dengan SKDI dirasa telah cukup untuk mengatasi berbagai masalah di fasilitas pelayanan primer. Dengan adanya DLP itulah yang akan mengancam kompetensi mereka karena adanya pemilahan antara dokter umum dan dokter (spesialis) layanan primer. Padahal, sekarang ini ada lebih kurang 100 ribu dokter umum yang menjadi anggota IDI dan bekerja di fasilitas fasilitas pelayanan primer.
Ketiga. IDI menganggap DLP akan sulit berjalan karena kurangnya sarana dan prasarana, termasuk langkanya dosen dosen kedokteran di beberapa daerah terpencil. Belum lagi dengan kurangnya alat alat kesehatan di fasilitas kesehatan primer.
Saat ini yang jadi permasalahan bukan hanya kompetensi dokternya saja karena kompetensi mereka akan meningkat dengan sarana dan prasarana yang memadai. Namun, ada 6 komponen yang saling berkaitan yakni sarana yang bagus, obat yang lengkap, tersedianya alat kesehatan, terpenuhinya tenaga medis, pembinaan operasionalisasi serta tenaga medis yang kompeten.
Melalui Perhimpunan Dokter Umum Indonesia, IDI telah mengajukan judicial review (uji materi) terhadap UU Pendidikan Kedokteran No. 20 tahun 2013,khususnya yang terkait dengan DLP.
Namun, akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) pada tanggal 10 Desember 2015 membacakan keputusannya yang menolak seluruh permohonan uji materi tersebut. Ini berarti, Fakultas Kedokteran wajib menyelenggarakan program pendidikan DLP.