Lihat ke Halaman Asli

Riki Tsan

Dokter Spesialis Mata

Mungkinkah Dokter Sengaja Melakukan Perbuatan Pidana?

Diperbarui: 9 Oktober 2024   12:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

by dr. Riki Tsan,SpM ( STHM MHKes V ) 

Pada awal abad ke-20, di kota Amsterdam, Belanda ada suatu peraturan daerah ( perda ) yang melarang dengan ancaman sanksi pidana bagi pengusaha susu perah  untuk menjual susu perah yang dicampur dengan air.

Pada suatu waktu, ada seorang pengusaha susu perah yang secara diam diam mencampur susu dengan air tanpa sepengetahuan siapapun. Lalu, dia menyuruh pembantunya untuk menjual susu yang telah bercampur air tersebut kepada para pembeli.
Belakangan, perbuatan jahat ini diketahui orang, dan keduanya dituntut secara pidana.

Di tingkat pengadilan negeri/tinggi ( arrondissement rechtbank ), hakim menjatuhkan hukuman pidana terhadap si pengusaha, sedangkan pembantunya dibebaskan dengan alasan ia tidak memiliki kesalahan ( bahasa Belanda-nya, schuld ) karena ia tidak mengetahui bahwa susu yang dijualnya itu telah dicampur dengan air.

Si pengusaha mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung Belanda ( Hooge Raad ) dengan berdalih bahwa semestinya ia dibebaskan dari tuntutan dan pembantunyalah yang harus dijatuhi hukuman pidana, karena secara  feit materieel telah terbukti bahwa yang menjual susu bercampur air tersebut adalah pembantunya . Sementara, pada waktu itu, kesalahan ( schuld ) sendiri tidak menjadi syarat seorang pelaku tindak pidana untuk dapat dipidana atau dijatuhi hukuman pidana.

Singkat kata, putusan dibacakan  pada tanggal 14 Februari 1916.
Hooge Raad memperkuat putusan arrondissement rechtbank dengan menolak permohonan kasasi si pengusaha dan membebaskan pembantunya karena ia sama sekali tidak memiliki kesalahan ( schuld ).
Putusan ini dikenal dengan ' Putusan Susu dan Air ( melk en water arrest ) '

Pada peristiwa inilah  untuk pertama kalinya muncul sebuah prinsip yang berbunyi, Geen Straf Zonder Schuld atau Tiada Pidana Tanpa Kesalahan yang menjadi yurisprudensi buat perkara perkara pidana berikutnya , dan di kemudian hari menjadi doktrin atau asas yang sangat fundamental di dalam hukum pidana.

Di dalam praktik hukum di Indonesia, asas Geen Straf Zonder Schuld ini -- dalam bahasa Latin, actus non facit nisi mens sit rea -- yang disebut juga sebagai asas culpabilitas atau asas kesalahan untuk pertama kalinya diterapkan di dalam putusan Mahkamah Agung pada tanggal 13 April 1957.

ASAS CULPABILITAS

Apa sebetulnya  makna dan tujuan asas culpabilitas ini ?.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline