Lihat ke Halaman Asli

Riki Purwanto

Manusia Bodoh yang Ingin Pintar

Ketika Sekolah Favorit Tak Lagi Menentukan Prestasi, Kartu Keluarga Tiba-tiba Menjadi "Kartu Sakti"

Diperbarui: 25 Juni 2019   06:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

"Meskipun dapat nilai yang cukup tinggi nilai UNnya, gara-gara ZONASI ini peluang bisa tertutup untuk masuk SMP-SMA favorit, yang kegiatan ekskulnya keren, fasilitasnya laboratoriumnya lux, yang alumni-alumninya jadi gubernur, menteri, atau orang besar. Sekolah yang kalau ada event ngundang artis sekelas Isyana Saraswati dan Menteri. Anak "nggunung" ini peluang terbesarnya cuma bisa dapat sekolah di daerah pinggiran sana, dimana lagi kalo ngga di puncak gunung mentok-mentok lereng gunung. Pupus sudah harapannya untuk punya teman sekolah remaja gaul yang postang-posting foto Instagram sedang makan di kafe-kafe yang lagi tren".

Harus diakui sih sejak dulu saya terpikat oleh euphoria sekolah favorit. Apalagi ketika lulus SD, saya finish di posisi runner up. Wah, rasa gengsipun membludak-mbludak di dalam tubuh saya. Daftarlah di SMP favorit saat itu, katanya. Setelah masuk sih biasa-biasa saja, seperti sekolah-sekolah pada umumnya isinya belajar, belajar, dan belajar. Endingnya ya ngerjain UN lagi. Ya proses belajar mengajar ditentukan oleh 4 hari kala itu, dan alhamdulillah finish diposisi ketiga. Otomatis dong daftar SMA Favorit. Jarak rumah sama SMA Favorit 30 kilometer, inilah yang membuat terpaksa NGE-KOS. Di SMA ya masih sama, bawanya cewe buku, buku, dan buku. Tetap aja masih ada UN, tapi bedanya disini mulai persiapan buat masuk PTN. Karena SMA saya favorit, jadi peluangnya cukup  besar buat masuk PTN lewat jalur undangan. Apalagi alumni sudah tersebar luas dipenjuru nusantara. (kok sombong amat, jangan ditiru)

Kebanyakan pikiran orang menganggap bahwa prestasi disebabkan oleh guru-guru dan sekolahnya yang hebat dan keren. Padahal ya ngga juga, faktor input siswa sekolah negeri favorit dan negeri pinggiran juga harus diperhatikan. Bukan semata karena sekolah itu memang bagus pengelolaannya. Mereka jadi sekolah unggulan ya karena yang masuk ke sana memang siswa-siswa dengan nilai bagus dari sekolah asalnya. Selain itu, cara berpikir orang tua desa yang masih sederhana dan kota yang terbuka secara wawasan yang dulu berbeda, ditambah lagi dengan kemampuan finasial yang terbatas pula. Kondisi inilah yang sebenarnya memberi andil paling besar bagi perbedaan kemajuan sekolah pinggiran dan sekolah unggulan di tengah kota. Coba perhatikan, rata-rata sekolah unggulan diseluruh Indonesia itu di Kota, jarang yang di kecamatan kalaupun ada hanya 1 atau 2 saja dan inputnya juga luarrr biasa nilainya.

Perlu untuk diketahui, dana operasional dari pemerintah itu besarnya hanya 800 ribu rupiah (untuk SD) per anak setiap tahun. Pada kasus sekolah dasar adik saya---misalnya, yang membuka 1 kelas pada tiap tahun ajaran dengan jumlah siswa kurang lebih 18-30 orang tiap kelas, maka jumlah dana bantuan operasional sekolah yang diperoleh adalah 240 juta setiap tahun, dan kayanya ngga nyampe  deh. Jika dirata-rata sekitar 20 juta setiap bulan, ngga percaya. Dana ini digunakan untuk membiayai keberlangsungan konsumtif kepala sekolah dan guru-guru kegiatan belajar mengajar. Tidak boleh digunakan untuk rehabilitasi fisik kategori sedang hingga berat atau membangun gedung baru. Kecuali pembangunan WC atau kantin sehat bagi sekolah-sekolah yang belum memiliki. Sementara untuk pembangunan gedung baru atau rehabilitasi sedang hingga berat, sumber pendanaan yang bisa digunakan adalah dari APBD atau dana bantuan dari wali murid.

Hanya saja pada praktiknya, menunggu alokasi dana dari APBD itu macam nunggu dia balas chat  (atau kelamaan? Nunggu di read saja ding). Padahal fasilitas seperti ini kan tetap harus ada. Tim pengawas sekolah akan terus memantau dan menekan kepala sekolah supaya segera memenuhi semua fasilitas sesuai dengan standar aturan yang ada. Memangnya sekolah dapat duit dari mana? Karena pada prinsipnya, sekolah negeri sekarang sudah tidak diperbolehkan lagi menarik iuran dari siswa, maka yang diandalkan sekolah adalah sumbangan dari wali murid. Jadi kalau wali murid kompak tidak mau bayar, ya sekolah tidak bisa berbuat apa-apa selain nangis di selokan. Nah, masalah inilah yang sering terjadi pada sekolah-sekolah pinggiran di kampung-kampung itu, teerrmasuk kampung saya. Cuma narik uang 50-200 ribu setahun sekali pas kenaikan kelas itu saja kepada wali murid juga susahnya kaya mau ketemuan sama kamu, iya kamu.

Di sisi lain, akan berbeda jika menarik uang sumbangan di sekolah favorit di tengah kota. Tinggal dijelaskan ini itu, dibuka semua persoalan dengan argumentasi yang cukup jelas, para orang tua murid bisa mudah setuju demi kemajuan sekolah dan pendidikan anak-anak mereka, hal ini pengalaman saya waktu SMA, berbeda sekali dengan SD dan SMP. Pada tahap selanjutnya, sekolah pun bisa optimal mengembangkan kegiatan-kegiatan yang menunjang pendidikan murid-muridnya. Mulai dari ekstrakulikulernya, fasilitasnya, dan event-eventnya.

Ini jelas berbeda dengan sekolah di daerah-daerah pinggiran. Persoalannya jauh lebih kompleks. Wali murid tidak hanya perlu mengeluarkan biaya iuran untuk sekolah anaknya, melainkan juga harus memikirkan masa panen, perawatan hewan ternak, dapat ikan banyak atau nggak, atau utang piutang gagal panen musim tanam sebelumnya. Pada praktiknya, hal-hal semacam ini jadi persoalan yang perlu dipikirkan pihak sekolah juga akhirnya. Sebab kalau nggak ikut mikirin, masalahnya bisa tambah runyam, bisa-bisa salah penentuan waktu penarikan sekolah-sekolah bisa dibakar. Jadi jelas sudah kenapa sekolah di tengah kota sangat "mudah" untuk jadi favorit, sedangkan sekolah pinggiran sangat sulit untuk jadi istana idaman bagi calon murid.

Oleh karena itu, bagi saya, melalui sistem zonasi kali ini, pemerintah sedang menaruh bibit-bibit harapan besar untuk memajukan sekolah-sekolah di pinggiran. Paling tidak kemajuan sekolah ini dimulai dulu dari lebih meratanya input siswa berprestasi. Jadi tidak njomplang-njomplang amat antara satu sekolah dengan sekolah yang lain. Tentu dengan harapan infrastuktur sekolah di pinggiran juga ditingkatkan pelan-pelan. Namun, dalam praktiknya biasanya ekspektasi tidak sesuai dengan kenyataan. Walaupun tujuanmu baik belum tentu menurut orang lain baik. Begitulah kira-kira gambaran yang dirasakan Kemendikbud saat ini, sabar ya...

Sepertinya pemerintah kurang memperhatikan strategi dalam menetapkan sistem zonasi ini, hmm... Sebaiknya Kemendikbud bilang dulu ke Kemenristekdikti untuk mengubah seleksi masuk PTN. Tidak ada undangan, tidak ada faktor alumni, tidak ada faktor sekolah, yang ada hanya kamu dihatiku ujian-ujian dan persyaratan berprestasi yang paling berprestasi, kalau cuma nilai raport itu kan cuma angka biasa yang bisa dirubah dan belum bisa merepresentasikan bahwa siswa tersebut benar-benar berprestasi.

Setelah itu, bangunlah gedung-gedung sekolah dengan kualitas yang sama dari ufuk timur sampai ujung barat. Kota desa sama aja fasilitasnya, sampai-sampai tidak bisa ditemukan perbedaannya. Hal yang terpenting, perbaiki kualitas SDM Pengajar, perbedaan antar generasi membuat komunikasi generasi babybomer dan generasi milenial bahkan generasi alfa tidak nyambung. Maka pensiunkan dini aja (mudah banget kalo ngomong wkwk), murid senang merekapun senang karena tak mengajar lagi, hahaha. Selanjutnya, cari lulusan guru yang benar bisa berpikir kritis, imajinasi, inovatif, enak diajak ngobrol, ngajarnya ngga bikin ngantuk, bukan hanya selfa-selfi saja, yang terpenting gak baperan tapi berperan. Lalu guru yang lolos seleksi disebar ke penjuru pelosok nusantara agar merata, bukan hanya di Jawa saja. Gajinya berapa? bisa dinego lah.

Eitts, tapi dalam melakukan hal tersebut diperlukan secara bertahap jangan langsung SD SMP SMA bareng. Di Mulai dari SMA dulu, karena disinilah yang menentukan biasaya. dulu-dulu sekloah favorit mudah banget masuk PTN, tinggal pilih gerbangnya mau gerbang depan atau belakang, eh. Jika ditingkat SMA berhasil, barulah menjarah ke tingkat SMP dan SD, alon-alon asal kelakon.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline