Lihat ke Halaman Asli

Riki Hifni

Seseorang yang mengagumi kata-kata

Menggugah Kesadaran si Hijau dan si Biru dari Ilusi Batu Bara

Diperbarui: 27 Juli 2024   10:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://snips.stockbit.com/investasi/perusahaan-tambang-di-bursa-efek-indonesia

Dengan adanya tanggapan positif dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) terkait kebijakan pemerintah yang memberikan Izin Usaha Pertambangan (IUP) batu bara kepada organisasi keagamaan, berbagai kritik pun muncul terhadap organisasi Islam terbesar di Indonesia tersebut. Salah satu bentuk kritik yang muncul adalah petisi di change.org dengan judul "Ketua PBNU: Kelola Energi Terbarukan Bukan Tambang Batu Bara." Petisi ini diluncurkan pada 5 Juni 2024, yang bertepatan dengan Hari Lingkungan Hidup Sedunia, dan telah mendapatkan 436 tanda tangan hingga artikel ini ditulis.

Dilain sisi, hal yang sama justru terjadi di Muhammadiyah. Saat ini, sebagian elit dari organisasi Islam tertua yang identik dengan bendera berwarna biru tersebut juga mulai tergiur dengan tawaran yang diberikan pemerintah terkait mengelola industri tambang batu bara. Reaksi negatif ini memicu perlawanan dari kalangan muda Muhammadiyah. Salah satu bentuk perlawanan tersebut diwujudkan melalui petisi dengan judul "Anak Muda Muhammadiyah Menolak Persyarikatan Terlibat Tambang." Hingga artikel ini ditulis, petisi ini telah memperoleh tanda tangan dari sekitar 400 orang.

Berbeda dengan Muhammadiyah, elit PBNU yang lebih dulu menerima tawaran pemerintah terkait tambang mendapatkan kritik keras dari masyarakat. Kritik di media sosial sangat tajam, hingga mengubah lambang NU. Ikon bumi pada lambang NU diganti dengan gambar alat berat untuk menambang. Selain itu, nama NU juga diubah menjadi UN, singkatan dari "Ulama Nambang." Warna hijau pada lambang NU pun diubah menjadi merah. Perubahan pada lambang NU ini menimbulkan kemarahan di kalangan tertentu. Kemarahan ini memicu seseorang untuk melaporkan pihak yang mengkritik NU ke polisi. Pelapor mengklaim bahwa tindakannya adalah bentuk kepeduliannya sebagai anggota NU sekaligus murid KH Sholahuddin Azmi, cucu pencipta lambang NU, KH Ridwan Abdullah. Namun, media kemudian mengungkap bahwa pelapor juga merupakan seorang calon legislatif dari partai yang mendukung Jokowi.

Akibat dari tindakan tersebut, muncullah pro dan kontra terhadap pelaporan ke polisi atas kritik terhadap NU. Namun, bila dicermati secara mendalam pelaporan ke pihak kepolisian atas dasar kritik terhadap diubahnya secara sengaja bendera NU tersebut menandai sekaligus menimbulkan pergeseran wacana secara masif.

Sebelumnya, diskusi terkait tambang untuk NU berfokus pada isu lingkungan hidup dan politik balas budi pasca Pilpres 2024. Namun, setelah adanya pelaporan ke polisi, fokus diskusi bergeser ke isu agama, yaitu pembelaan terhadap lambang NU. Apakah pergeseran wacana ini hanyalah sebuah kebetulan? Atau justru malah kesengajaan?

Untuk memahami pergeseran ini, kita bisa menggunakan perspektif Michel Foucault. Pemikir dan cendekiawan Prancis abad ke-20 ini menyatakan bahwa wacana berhubungan erat dengan kekuasaan dan pengetahuan. Ia juga berpendapat bahwa politik kepentingan dapat terbentuk melalui wacana. Politik kepentingan yang hadir dalam wacana tersebut dapat mempengaruhi sejauh mana ruang demokrasi menyempit atau meluas.

Dengan menggunakan perspektif Michel Foucault, kita dapat memahami bahwa pergeseran wacana dari isu lingkungan hidup dan politik ke isu agama dalam konteks tambang untuk NU tidaklah kebetulan. Perubahan wacana ini tampaknya telah direncanakan sejak awal dan kian menjadi sebuah rencana sempurna karena elit Muhammadiyah saat ini mulai memberikan lampu hijau untuk mengikuti langkah NU untuk terlibat dalam industri batu bara yang kontroversial.

Selama ini, pemerintah telah menggunakan narasi nasionalisme untuk membela industri batu bara yang berpolusi. Setiap kritik terhadap kerusakan yang ditimbulkan oleh tambang batu bara selalu dijawab dengan isu kedaulatan ekonomi dan politik. Namun, tampaknya pendekatan tersebut tidak lagi efektif, karena masyarakat lokal juga menjadi korban dari dampak negatif tambang batu bara.

Singkatnya, batu bara tidak hanya menimbulkan krisis iklim global tetapi juga menyebabkan kerusakan lingkungan di tingkat lokal. Masalah seperti krisis air, pencemaran udara, dan bentuk pencemaran lainnya tidak bisa dipisahkan dari aktivitas tambang batu bara. Oleh karena itu, narasi nasionalisme yang ada perlu diubah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline